BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Khulafaur Rasyidin merupakan
salah satu dari bagian sejarah yang tidak akan terpisahkan dengan sejarah
peradaban dan perkembangan Islam. Pada fase ini banyak terjadi peristiwa-peristiwa
yang begitu monumental mulai dari pengangkatan khalifah pertama yaitu Abu Bakar
As-Siddiq hingga terbunuhnya khalifah terakhir yaitu Ali bin Abi Thalib.
Sejarah awal munculnya sistem
kekhalifaan Khulafaur Rasyidin dimulai ketika wafatnya Rasulullah Muhammad SAW
yang menimbulkan pertanyaan dikalangan ummat siapa yang nantinya akan
menggantikan kedudukan Rasulullah SAW sebagai kepala pemerintahan di Madinah.
Kerisauan akan sosok
pengganti Rasulullah sebagai nahkoda pemerintahan Madinah terjawab dengan
dibay’atnya Abu Bakar As-Siddiq sebagai khalifah pertama dengan berbagai
pertimbangan yang mendasar dan konflik yang hampir saja memecah belah kesatuan
ummat Islam pada waktu itu.
Setelah wafatnya Abu Bakar
As-Siddiq pertanyaan yang sama ketika wafatnya Rasulullah SAW kembali muncul,
siapa yang akan menjadi khalifah pengganti Abu Bakar As-Siddiq yang bertanggung
jawab menjalankan roda pemerintahan. Kemudian diputuskanlah mengangkat Umar bin
Khattab sebagai khalifah berikutnya.
Pasca Umar bin Khattab
kembali ke pangkuan Allah Sang Maha Pencipta, tongkat pemerintahan dilanjutkan
oleh sahabat Rasulullah SAW yang dikenal begitu menjunjung tinggi rasa malu
yaitu Utsman bin Affan selama kurang lebih 12 tahun.
Kursi kepala pemerintahan
yang ditinggalkan oleh Utsman bin Affan setelah terbunuh dalam perang kemudian
diwariskan kepada Ali bin Abi Thalib yang juga merupakan sepupu dan sekaligus
suami dari Fatimah Az-Zahro putri Rasulullah Muhammad SAW.
Perjalanan sejarah
kekhalifaan Khulafaur Rasyidin yang meliputi 4 orang khalifah begitu banyak
memberikan pelajaran berharga bagi ummat Islam baik dalam hal ibadah maupun
muamalah. Salah satu hal yang dapat diambil pelajaran adalah sistem tata kelola
pemerintahan yang diterapkan oleh para khalifah Khulafaur Rasyidin yang
mengantarkan Islam dianut oleh masyarakat di negeri-negeri diluar Mekkah dan
Madinah.
Dari uraian singkat diatas
maka penulis tertarik membuat sebuah karya tulis yang membahas tentang
Khulafaur Rasyidin yang meliputi pembentukan negara khilafah dan perkembangan
Islam sebagai kekuatan politik.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan pada pembahasan
singkat pada point latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi fokus utama
uraian makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
sejarah singkat perjalanan Khulafaur Rasyidin?
2.
Bagaimana
kronologi pembentukan negara khilafah pada masa pemerintahan Khulafaur
Rasyidin?
3.
Bagaimana
perkembangan Islam sebagai kekuatan politik pada masa pemerintahan Khulafaur
Rasyidin?
C. Tujuan
Penulisan
Penulisan makalah ini
bertujuan untuk mengetahui hal-hal berikut :
1.
Sejarah
singkat perjalanan Khulafaur Rasyidin?
2.
Kronologi
pembentukan negara khilafah pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin?
3.
Perkembangan
Islam sebagai kekuatan politik pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Singkat Khulafaur Rasyidin
Secara umum pemerintahan
Khulafaur Rasyidin dibagi menjadi 4 periode kepemimpinan yaitu periode
kepemimpinan Abu Bakar As-Siddiq, periode kepemimpinan Umar bin Khattab,
periode kepemimpinan Utsman in Affan dan periode kepemimpinan Ali bin Abi
Thalib.
Ketika wafatnya Rasulullah
SAW sekelompok sahabat dari golongan Anshor dan Muhajirin mengadakan pertemuan
di Saqifah Bani Sa’idah untuk mebicarakan pengganti Rasulullah SAW sebagai
kepala pemerintahan di Madinah yang kemudian mengangkat Abu Bakar As-Siddiq
sebagai Khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW.
Pengangkatan Abu Bakar
As-Siddiq tidak terjadi begitu saja. Selama pembicaraan di Saqifah Bani Sa’idah
terjadi diskusi yang begitu alot karena masing-masing pihak mengkleim diri
berhak menjadi pengganti Rasulullah sebagai pemimpin politik. Namun karena
semangat persatuan akhirnya pertemuan tersebut memutuskan mengangkat Abu Bakar
As-Siddiq sebagai khalifah.
“Abu Bakar mengemban jabatan
sebagai khalifah selama kurang lebih 2 tahun yang beliau habiskan dengan
menyelesaikan berbagai persolan dalam negeri yang muncul akibat wafatnya Nabi
Muhammad SAW.”[1]
Berbagai permasalahan yang
terjadi pada masa pemerintahan Abu Bakar diantaranya adalah :
1.
Menumpas
nabi-nabi palsu.
2.
Memberantas
orang-orang murtad.
3.
Menghadapi
orang-orang yang enggan membayar zakat.
4.
Mengumpulkan
Al-Qur’an.
“Pada masa kepemimpinan Abu
Bakar Islam juga telah memulai ekspansinya ke beberapa daerah diluar kota
Madinah diantaranya ke Iraq dan Syiria. Perluasan wilayah kekhalifaan Islam ini
juga diikuti dengan diutusnya beberapa sahabat menjadi gubernur seperti Abu
Musa Al-Asy’ari, Khalid bin Walid, Amr bin Ash dan lain-lain sebagainya.”[2]
“Setelah bertugas selama 2
tahun 3 bulan 10 hari Abu Bakar tutup usia pada tanggal 21 Jumadil Akhir 13
H/22 Agustus 634 M dan mewasiatkan pengganti dirinya sebagai khalifah kepada
Umar bin Khattab.”[3]
Wasiat Abu Bakar As-Siddiq
menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya merupakan keputusan yang telah
Abu Bakar diskusikan dengan beberapa sahabat kala beliau sakit antara lain
Abdur Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan.
“Masa pemerintahan Umar bin
Khattab berlangsung selama 10 tahun 6 bulan 10 hari, beliau wafat 3 hari
setelah ditikam oleh seorang budak Persia bernama Fairuz atau Abu Lu’lu yang
menikamnya pada saat akan melaksanakan sholat subuh di Masjid Nabawi pada
tanggal 1 Muharram 23 H.”[4]
Berbeda dengan Abu Bakar
As-Siddiq yang mewasiatkan penggantinya sebagai khalifah, Umar bin Khattab menunjuk
6 orang sahabat yang ia amanahkan bermusyawarah untuk memilih salah satu dari
mereka menjadi penggantinya. Keenam sahabat tersebut adalah Utsman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdur Rahman bin
Auf dan Thalha bin Ubaidillah yang kemudian menyepakati mengangkat Utsman bin
Affan sebagai pengganti Umar
Pada fase awal
pemerintahannya Utsman bin Affan berhasil merebut simpati rakyat dengan
berbagai kemajuan dan perluasan wilayah kekuasaan Islam. Pada masa pemerintahan
Utsman pulalah penulisan kembali naskah Al-Qur’an ke dalam beberapa mushaf
dilakukan yang kemudian disebar ke berbagai wilayah Islam pada waktu itu.
“Namun pada akhir-akhir
periode pemerintahannya Utsman menghadapi kekecewaan ummat atas pola
pemerintahannya yang dianggap bermasalah
karena mengangkat kerabat terdekatnya memangku jabatan-jabatan strategis dalam
pemerintahan. Kekecewaan tersebut berujung pada kematiannya di tangan para
pemberontak yang menyerbu kediamannya.”[5]
Kematian Utsman bin Affan
semakin memperkeruh suasana ummat Islam yang memang telah kacau akibat pemberontakan.
Di tengah kekacauan tersebut masyarakat kemudian beramai-ramai membay’at Ali
bin Abi Thalib menjadi khalifah pengganti Utsman yang diharapkan dapat meredam
dan mengatasi kekacauan yang sedang terjadi.
Pengangkatan Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah ternyata tidak menyelesaikan permasalahan yang ada.
Kekacauan demi kekacauan terjadi silih berganti, bahkan tercatat beberapa
perang antar ummat Islam terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib
salah satunya adalah Perang Jamal yang melibatkan kelompok Aisyah binti Abu
Bakar As-Siddiq (Ummul Mu’minin) yang menuntut penyelesaian kasus pembunuhan
Utsman bin Affan.
“Pemerintahan Ali bin Abi
Thalib yang berjalan kurang lebih selama 6 tahun dapat dikatakan sebagai fase
pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang paling kritis dan tidak stabil. Klimax
dari kekacauan demi kekacauan pada masa itu terjadi pada tanggal 20 Ramadhan 40
H dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib oleh anggota kelompok Khawarij yang
bernama Abdullah bin Mu’jam.”[6]
Dengan terbunuhnya Ali bin
Abi Thalib maka berakhirlah fase pemerintahan Khulafaur Rasyidin pada
kekhalifaan Islam yang kemudian digantikan oleh Dinasti Umayyah. Berbagai
sejarah yang telah di torehkan oleh kekhalifaan Khulafur Rasyidin tidak dapat
dipungkiri begitu banyak memberika pengaruh terhadap perkembangan dan perluasan
wilayah kekuasaan Islam.
B. Pembentukan
Negara Khilafah Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Menurut Abul A’la Al-Maududi “khilafah
merupakan sebuah sistem pemerintahan yang demokratis yang berbeda dengan sistem
demokratis dalam pandangan barat. Dalam sistem demokratis yang dianut oleh
barat kekuasaan tertingi berada di tangan rakyat, sedangkan dalam khilafah
Islamiyah sistem demokratis berada pada kekuasaan Allah dan kalifah sebagai
wakil Allah dengan sukarela menjalankan pemerintahannya berdasarkan pada
perundang-undangan Allah yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist
Rasulullah SAW.”[7]
Roda pemerintahan yang
dijalankan oleh keempat khalifah Khulafaur Rasyidin merupakan pemerintahan yang
senantiasa berdasarkan pada perundang-undangan Allah SWT dan petunjuk yang
telah diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW serta asas musyawarah yang senantiasa
dikedepankan oleh para khalifah dalam mengambil berbagai keputusan penting,
misalnya keputusan mengumpulkan Al-Qur’am pada masa Abu Bakar As-Siddiq,
keputusan sosok pengganti khalifah Umar bin Khattab dan berbagai keputusan
strategis lainnya.
Khilafah Khulafaur Rasyidin
dibangun atas dasar musyawarah, hal ini berdasarkan pada pengangkatan khalifah
pertama yang dilakukan dengan jalan musyawarah.
“Sebagai sebuah negara yang
baru berkembang, Madinah dibawah kekuasaan Abu Bakar As-Siddiq banyak
menghadapi permasalahan internal khususnya dari sekelompok ummat yang mulai
mengingkari ajaran Islam pasca wafatnya Rasulullah SAW. Abu Bakar As-Siddiq
memerangi para orang-orang murtad, memberantas para nabi palsu yang bermunculan
dan menghadapi kaum muslimin yang enggan membayar zakat.”[8]
Pada masa pertama ini, sistem
pemerintahan yang diterapkan oleh Abu Bakar As-Siddiq tidak berbeda jauh dengan
sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Rasulullah SAW yaitu sistem
pemerintahan yang bersifat central, dimana kekuasaan yudikatif, legislatif dan
eksekutif berada penuh di tangan khalifah.
Cakupan wilayah Islam yang
juga mulai bertambah membuat Abu Bakar As-Siddiq mengeluarkan kebijakan membagi
wilayah hukum Madinah dan menunjuk
beberapa sahabat menjadi gubernur
sebagai wakil khalifah di wilayah hukum tersebut seperti Amr bin Ash,
Utsman bin Abi Al-‘Ash, Muhajir bin Abi Umayyah, Siyad bin Ubaidillah
Al-Anshori, Abu Musa Al-As’ari, Muaz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan, Khalid
bin Walid dan sebagainya.
Dalam bidang sosial ekonomi
Khalifah Abu Bakar As-Siddiq bercita-cita mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
sosial yang merata kepada seluruh rakyat. Hal ini diwujudkan dengan mengolah
zakat kaum muslimin, harta rampasan perang (ghanima) dan jizyah dari warga
non-muslim sebagai sumber keuangan baitul mal yang kemudian dimanfaatkan untuk
kesejahteraan para tentara, pegawai negara dan rakyat yang berhak menerima
bantuan sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Hadist.
Pada akhir periode
pemerintahannya Abu Bakar As-Siddiq membuat sebuah terobosan dengan menunjuk
penggantinya sebagai khalifah yaitu Umar bin Khattab. Penunjukkan ini tentunya
berbeda dengan pola penunjukkan beliau sebagai khalifah yang tidak pernah
secara langsung ditunjuk oleh Rasulullah SAW menjadi penggantinya setelah
beliau wafat.
“Keputusan Abu Bakar
As-Siddiq menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya merupakan keputusan
yang telah beliau diskusikan dengan para sahabat diantaranya Utsman bin Affan dan Abdur Rahman
bin Auf.”[9]
hal ini menunjukkan bahwa pengambilan
berbagai keputusan penting terkait persoalan pemerintahan pada masa Abu
Bakar As-Siddiq selalu mengedepankan asas musyawarah.
Setelah tongkat estafet
pemerintahan Khulafaur Rasyidin beralih kepada Umar bin Khattab, mulailah
diadakan pemisahan antara kekuasaan peradilan dan kekuasaan eksekutif. “Umar
bin Khattab menunjuk hakim dalam sistem peradilan yang independen yang bertugas
menyelesaikann persoalan rakyat terkait permasalahan hukum. Sistem peradilan
ini terpisah dengan kekuasaan eksekutif namun tetap bertanggung jawab langsung
kepada khalifah.”[10]
Untuk melengkapi tata kelola
administrasi negara, Umar bin Khattab membentuk beberapa defisi yang
membantunya mengurus berbagai urusan pemerintahan seperti Diwana Al-Ahdats
(Defisi kepolisian), Diwana Al-Kharaj (Defisi pajak), Nazarat Al-Nafi’at
(Defisi pekerjaan umum), Diwana Al-Jund (Defisi militer) dan Baitul Mal (Kas
negara).
Wilayah kekuasaan Islam yang
juga semakin berkembang pesat membuat Khalifah Umar bin Khattab kemudian
membagi wilayah khilafah Islamiyah menjadi 8 wilayah yaitu Mekkah, Madinah,
Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Mesir dan Palestina yang masing-masing wilayah
diutus Gubernur sebagai wakil khalifah.
Di akhir periode
kepemimpinannya, Umar bin Khattab membentuk panitia pemilihan pengganti dirinya
sebagai khalifah. Panitia ini terdiri dari 6 orang sahabat yaitu Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalha bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin
Abi Waqqash dan Abdur Rahman bin Auf. Panitia ini bertugas bermusyawarah untuk
memilih salah satu dari mereka menjadi khalifah pengganti Umar bin Khattab.
Suksesi kepemimpinan kemudian
beralih ke tangan Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga Khulafaur Rasyidin.
Utsman bin Affan diangkat sebagai Khalifah setelah panitia pemilihan yang
dibentuk Umar bin Khattab menyepakati Utsman bin Affan menjadi khalifah
berikutnya.
Pada periode Utsman bin Affan
sistem pengelolaan ketata negaraan tidak berbeda jauh dengan apa yang telah
dilakukan oleh para pendahulunya. Utsman bin Affan membagi wilayah Khilafah
Islamiyah menjadi 10 bagian dengan menunjuk Gubernur sebagai wakilnya di
daerah. Kesepuluh wilayah tersebut meliputi :
1. Mekkah
yang dipimpin oleh Gubernur Nafi’ bin Al-Harits Al-Khuza’i.
2. Thaif
dipimpin oleh Gubernur Sufyan bin Abdullah At-Tsaqafi
3. Shan’ah
dipimpin oleh Gubernur Ya’lla bin Munabbih.
4. Al-Janad
dipimpin oleh Gubernur Abdullah bin Abi Rabiah.
5. Bahrain
dipimpin oleh Utsman bin Abi Al-Ashal At-Tsaqafi.
6. Kufah
dipimpin oleh Gubernur Al-Mughirah bin bin Syu’bah.
7. Basrah
dipimpin oleh Gubernur Abu Musa Al-Asy’ari.
8. Damaskus
dipimpin oleh Gubernur Muawiyah bin Abi Sufyan.
9. Hinsh
dipimpin oleh Gubernur Umar bin Sa’ad.
10. Mesir
dipimpin oleh Gubernur Amr bin Ash.[11]
Sedangkan dalam hal kekuasaan
legislatif, Utsman bin Affan membentuk Dewan Penasehat Syura yang menjadi
tempat Utsman bin Affan bermusyawarah dengan para sahabat terkait dengan
kelancaran urusan pemerintah.
Akhir fase pemerintahan
Utsman bin Affan begitu sangat berbeda dengan para pendahulunya, Utsman bin
Affan lengser dari kedudukannya sebagai khalifah setelah terbunuh oleh para
pemberontak yang merasa kecewa dengan sistem pemerintahan Utsman bin Affan yang
dianggap penuh nepotisme.
Ali bin Abi Thalib yang
didaulat oleh para pemberontak untuk menggantikan Utsman bin Affan tidak
terlalu banyak membawa perubahan dalam sistem ketata negaraan Khilafah
Islamiyah. Ali bin Abi Thalib yang mewarisi kekacauan yang ditinggalkan Utsman
bin Affan bekerja keras mengembalikan stabilitas negara seperti pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab.
C. Perkembangan
Islam Sebagai Kekuatan Politik pada Masa Khulafaur Rasyidin
Perjuangan Rasulullah SAW
menyebarkan ajaran Islam di tanah Arab begitu sangat sukses. Agama yang awalnya
minoritas bahkan pemeluknya harus terusir dari tanah kelahiran mereka di Mekkah
pada akhirnya menjadi agama yang banyak dianut oleh bangsa Arab termasuk di
Kota Mekkah.
Islam perlahan namun pasti
berkembang menjadi kekuatan politik baru ditengah 2 kekuatan politik besar yang
telah ada jauh sebelumnya yakni Persia dan Romawi.
Begitu pula halnya masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang berlangsung kurang lebih selama 30 tahun
memiliki campur tangan yang begitu besar mengembangkan Islam hingga mampu
sejajar dengan Persia dan Romawi.
“Pada awal pemerintahan
khalifah pertama yang diuji dengan pemberontakan orang-orang murtad dan para
nabi palsu, Khalifah Abu Bakar As-Siddiq mengeluarkan kebijakan mengirim
pasukan sebanyak 700 orang dibawah komando Usamah bin Zaid untuk memerangi kaum
Romawi sebagai realisasi cita-cita Rasulullah SAW yang belum sempat
diwujudkan.”[12]
Kebijakan ini sempat
mendapatkan tentangan dari kalangan para sahabat termasuk Umar bin Khattab yang
menilai kebijakan ini terlalu terburu-buru, sebab masih banyak persoalan dalam
negeri yang perlu diselesaikan.
Kekhawatiran tersebut
ternyata tidak terbukti dengan keberhasilan menuntaskan berbagai permasalahan
yang muncul dan sekaligus menunjukkan kekuatan yang dimiliki oleh ummat Islam
yang tetap dapat bersatu menghadapi berbagai tantangan lawan.
Setelah pemerintahan berada
di tangan kemudi Umar bin Khattab, Islam semakin berkembang pesat dengan
ditaklukannya berbagai wilayah seperti ibu kota Syria, Damaskus, Ardan dan
Hinsh pada tahun 14 H di bawah kepemimpinan Abu Ubaidah Ibnu Al-Jarrah. Setahun
kemudian pasukan muslim berhasil mengalahkan tentara Byzantium pada peperangan
Yarmuk yang akhirnya membuat pasukan muslim berhasil menguasai Syiria secara
keseluruhan.
Setelah Syiria berhasil
dikuasai, ekspansi kaum muslimin berlanjut ke Mesir yang dipimpin oleh Amr bin
Ash serta ke Iraq yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash dan Syurahbil Ibnu
Hasanah yang selanjutnya menguasai Al-Qadisiyah sebuah kota dekat Hirah (Iraq).
“Pada tahun 637 M
pemerintahan Umar bin Khattab berhasil menaklukkan Al-Madain dan 641 M berhasil
menundukkan Mosul. Dengan demikian, pada masa pemerintahan Umar bin Khattab
wilayah Khilafah Islamiyah meliputi seluruh Semenanjung Arabiyah, sebagian
besar wilayah Persia dan sebagian wilayah romawi.”[13]
Masa pemerintahan Umar bin
Khattab merupakan masa keemasan Islam.[14]
Pada periode ini dikenal dengan pengembangan Islam dan perubahan-perubahannya.
Umar bin Khattab menegakkan hukum-hukum Allah dan menjadikan Al-Qur’an dan
Hadist sebagai sumber perundang-undangan Khilafah Islamiyah.
Berbagai kebijakan politik
Umar bin Khattab seperti membentuk departemen dan membagi wilayah menjadi
beberapa bagian, mengutus sahabat menjadi gubernur sebagai wakil khalifah di
daerah, penerapan pajak perdagangan dan bea cukai serta beberapa kebijakan
lainnya terbukti mampu menjaga stabilitas roda pemerintahannya hingga akhir.
Setelah peristiwa penikaman
atas dirinya oleh Fairuz atau Abu Lu’lu yang di latar belakangi oleh pemecatan
Mughirah Ibnu Syu’ba sebagai gubernur Kufah yang melakukan penghianatan dan
pembocoran rahasia negara, Umar bin Khattab membentuk panitia untuk menunjuk
penggantinya sebagai khalifah.
Untuk menghindari perpecahan
dan sengketa politik antar sesama anggota panitia pemilihan, Umar bin Khattab
menginstruksikan tata cara pemilihan pengganti dirinya yaitu :
1. Jika 5
orang sepakat menunjuk salah seorang dari mereka dan 1 orang menolak keputusan
itu, maka 1 orang ini hendaklah dipenggal kepalanya.
2. Jika 4
orang dari mereka sepakat menunjuk salah seorang darinya dan 2 orang menolak
keputusan tersebut, maka 2 orang ini hendaklah dipenggal kepalanya.
3. Jika
mereka terpecah menjadi 2 kelompok, hendaklah meminta keputusan Abdullah bin
Umar untuk memilih salah satu kelompok.
4. Jika
salah satu kelompok masih menolak keputusan itu maka kelompok yang dipilih adalah kelompok yang didalamnya
terdapat Abdur Rahman bin Auf, sedangkan kelompok yang masih menolak hendaklah
dibunuh.[15]
Kebijakan ini sukses meredam
gesekan yang terjadi antar anggota panitia pemilihan yang pada akhirnya sepakat
menunjuk Utsman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khattab.
Pada periode Utsman bin Affan
ekspansi perluasan wilayah Khilafah Islamiyah terus berlanjut. Utsman bin Affan
berhasil menaklukkan Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, Transoxatania dan
Tabaristan.
Utsman bin Affan memegang
tampuk kepemimpinan selama 12 tahun yang dihabiskan mengurusi berbagai
permasalahan tentang kepentingan Islam seperti penyalinan kembali naskah
Al-Qur’an menjadi beberapa mushaf dan berbagai kepetingan ummat seperti
membangung infrastruktur demi kesejahteraan ummat dan kejayaan Islam.
Masa pemerintahan Utsman bin
Affan berakhir dengan terjadinya pergolakan politik yang terjadi akibat
kekecewaan sekelompok ummat terhadap berbagai kebijakan pemerintahan Utsman bin
Affan yang dinilai hanya menjadi simbol khalifah sedangkan yang menjalankan
roda pemerintahan adalah orang-orang terdekatnya.
Pergolakan politik di akhir
masa pemerintahan Utsman bin Affan terus berlanjut hingga masa kepemimpinan Ali
bin Abi Thalib yang membuat masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib menjadi tidak
stabil. Menyadari kenyataan tersebut, Ali bin Abi Thalib kemudian mengambil
kebijakan untuk membenahi dan menyusun arsip-arsip negara untuk mengamankannya
serta mengatur dan mengkordinir tugas-tugas polisi.
Tercatat 2 perang besar antar
ummat Islam yang terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib. Pertama, Perang Jamal
yang melibatkan 3 sahabat besar Rasulullah SAW yakni Thalha bin Ubaidillah,
Zubair bin Awwam dan Aisyah binti Abu Bakar (Ummul Mu’minin) yang dipicu oleh
tuntutan mengusut kematian Utsman bin Affan. Kedua, Perang Shiffin yang dipicu oleh
kekecewaan Muawiyah bin Abi Sufyan yang dicopot dari jabatannya sebagai
Gubernur Damaskus.
Perseteruan antara Ali bin
Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan berakhir dengan mengupayakan jalan
damai dengan mengadakan tahkim (Arbitrase) yang justru memicu permasalahan baru di kubu Ali bin Abi
Thalib.
Kelompok yang menolak adanya
tahkim (Arbitrase) menyatakan diri keluar dari barisan pendukung Ali bin Abi
Thalib. Hal ini membuat pada akhir masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
kekuatan politik ummat Islam terpecah menjadi 3 kelompok yaitu kelompok
pendukung Ali bin Abi Thalib, kelompok pendukung Muawiyah bin Abi Sufyan dan
kelompok yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib yang disebut Khawarij.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan
makalah ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Khulafaur
Rasyidin merupakan pelanjut perjuangan Rasulullah SAW menyebarkan Islam dan
sebagai pengganti Rasulullah SAW memimpin ummat. Awal mula jejak Khulafaur Rasyidin
berawal dengan diangkatnya Abu Bakar As-Siddiq menjadi khalifah pertama yang
merupakan hasil musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah. Setelah masa pemerintahan
Abu Bakar As-Siddiq berakhir, pemerintahan dilanjutkan oleh Umar bin Khattab
yang telah diamanatkan dalam wasiat Abu Bakar As-Siddiq hasil musyawarah Abu
Bakar As-Siddiq dengan para sahabat. Pemerintahan berikutnya dipegang oleh
Utsman bin Affan yang terpilih dari hasil musyawarah panitia pemilihan khalifah
yang dibentuk oleh Umar bin Khattab. Fase akhir pemerintahan Khulafaur Rasyidin
berada di tangan Ali bin Abi Thalib yang di bay’at langsung di tengah kekacauan
ummat akibat terbunuhnya Utsman bin Affan.
2.
Sistem
pemerintahan Khulafaur Rasyidin dibangun atas dasar musyawarah dan berdasarkan
pada petunjuk Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW. Hal ini terlihat pada
pengangkatan para khalifah terkecuali Ali bin Abi Thalib yang diangkat
berdasarkan pada hasil musyawarah. Selain itu, pengambilan berbagai kebijakan
pada masa Khulafaur Rasyidin senantiasa merujuk pada petunjuk Al-Qur’an dan
Hadist Rasulullah SAW yang kemudian di musyawarahkan bersama para sahabat.
3.
Perkembangan
Islam sebagai sebuah kekuatan politik baru di tengah 2 kekuatan politik besar
dunia yang sudah ada sebelumnya telah dimulai sejak zaman Rasulullah Muhammad
SAW. Perjuangan tersebut kemudian dilanjutkan oelh para Khalifah Khulafaur
Rasyidin hingga wilayah kekuasaan Islam meliputi Jazirah Arab, wilayah Persia
dan wilayah Romawi. Puncak masa kejayaaan Islam terjadi pada masa kepemimpinan
Umar bin Khattab yang berhasil menaklukkan berbagai wilayah baik di Jazirah
Arab, Persia maupun Romawi. Pada akhir masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin
terjadi pertikaian yang melanda kaum muslimin yang berujung pada terbunuhnya
Utsman bin Affan serta melahirkan 3 kekuatan politik baru dalam Islam yaitu
kelompok pengikut Ali bin Abi Thalib, kelompok pengikut Muawiyah bin Abi Sufyan
dan kelompok yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib yang disebut Khawarij.
B. Saran/Harapan
Begitu banyak hikmah yang
dapat kita petik dari perjalanan Khulafaur Rasyidin. Salah satu diantaranya,
dalam menyelesaikan sebuah permasalahan dalam sebuah kelompok hendaknya kita
mendahulukan asas musyawarah untuk mendapatkan solusi terbaik demi kebaikan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Sin, Ahmad Ibrahim. 1996. Manajemen Syaria’ah. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Al-Azizi, Abdul Syukur. 2009. Kitab Sejarah Peradaban Islam.
Yogyakarta: Saufa.
Al-Maududi, Abul A’la. 1996. Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Mizan
Publika.
Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Perkembangan Islam. Jakarta: Amzah.
Gulungan, Sayuti. 2002. Fiqhi Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Haekal, Muhammad Husain. 2003. Biografi Abu Bakar As-Siddiq. Cet. Ke-3.
Bogor: Pustaka Putra Antar Nusa.
K, Farid. 2011. Biografi 12 Sahabat Rasulullah. Solo: Pustaka Media Ilmu.
Karim, Abdul. 2012. Sejarah Pemikiran dan Perkembangan Islam. Yogyakarta: Bagaskara.
Rofiq, Ahmad Khoirul. 2009. Sejarah Peradaban Islam; Dari Masa Klasik
hingga Modern. Yogyakarta: Nadin Offset.
Su’aib, Yusuf. 1999. Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin. Cet. Ke-VII. Jakarta: Bulan
Bintang.
[1] Samsul
Munir Amin, Sejarah Perkembangan Islam
(Jakarta: Amzah, 2009), h. 93 - 94
[2] Ahmad
Ibrahim Abu Sin, Manajemen Syaria’ah
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 37 - 38
[3]
Muhammad Husain Haekal, Biografi Abu
Bakar As-Siddiq (Cet. Ke-3; Bogor: Pustaka Putra Antar Nusa, 2003) h. 363 -
364
[4] Samsul
Munir, op. cit, h. 98
[6] Farid
K, Biografi 12 Sahabat Rasulullah
(Solo: Pustaka Media Ilmu, 2011), h. 14
[7] Abul
A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan
(Bandung: Mizan Publika, 1996), h. 68
[8] Samsul
Munir, op. cit, h. 93 - 94
[9]
Muhammad Husain Haekal, op. cit, h.
380
[10] Ahmad
Ibrahim Abu Sin, op. cit, h. 38 - 39
[11] Sayuti Gulungan, Fiqhi
Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h. 144
[12] Yusuf
Su’aib, Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin
(Cet. Ke-VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1999), h. 36
[13] Ahmad
Khoirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam;
Dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: Nadin Offset, 2009), h. 92
[14] Abdul
Karim, Sejarah Pemikiran dan Perkembangan
Islam (Yogyakarta: Bagaskara, 2012), h. 81
[15] Sayuti
Gulungan, op. cit, h. 130