السلام عليكم ورحمةالله وبركاته!

Deal with the problem yourself and acknowledge existence of life, but do not let yourself be mastered. Let yourself aware of the situation of education in the form of patience, happiness, and understanding the meaning

Hadapilah masalah hidup dirimu dan akuilah keberadaannya, tetapi jangan biarkan dirimu dikuasainya. Biarkanlah dirimu menyadari adanya pendidikan situasi berupa kesabaran, kebahagiaan, dan pemahaman makna.

Selasa, 07 Februari 2017

Makalah - Khulafaur Rasyidin

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Khulafaur Rasyidin merupakan salah satu dari bagian sejarah yang tidak akan terpisahkan dengan sejarah peradaban dan perkembangan Islam. Pada fase ini banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang begitu monumental mulai dari pengangkatan khalifah pertama yaitu Abu Bakar As-Siddiq hingga terbunuhnya khalifah terakhir yaitu Ali bin Abi Thalib.
Sejarah awal munculnya sistem kekhalifaan Khulafaur Rasyidin dimulai ketika wafatnya Rasulullah Muhammad SAW yang menimbulkan pertanyaan dikalangan ummat siapa yang nantinya akan menggantikan kedudukan Rasulullah SAW sebagai kepala pemerintahan di Madinah.
Kerisauan akan sosok pengganti Rasulullah sebagai nahkoda pemerintahan Madinah terjawab dengan dibay’atnya Abu Bakar As-Siddiq sebagai khalifah pertama dengan berbagai pertimbangan yang mendasar dan konflik yang hampir saja memecah belah kesatuan ummat Islam pada waktu itu.
Setelah wafatnya Abu Bakar As-Siddiq pertanyaan yang sama ketika wafatnya Rasulullah SAW kembali muncul, siapa yang akan menjadi khalifah pengganti Abu Bakar As-Siddiq yang bertanggung jawab menjalankan roda pemerintahan. Kemudian diputuskanlah mengangkat Umar bin Khattab sebagai khalifah berikutnya.
Pasca Umar bin Khattab kembali ke pangkuan Allah Sang Maha Pencipta, tongkat pemerintahan dilanjutkan oleh sahabat Rasulullah SAW yang dikenal begitu menjunjung tinggi rasa malu yaitu Utsman bin Affan selama kurang lebih 12 tahun.
Kursi kepala pemerintahan yang ditinggalkan oleh Utsman bin Affan setelah terbunuh dalam perang kemudian diwariskan kepada Ali bin Abi Thalib yang juga merupakan sepupu dan sekaligus suami dari Fatimah Az-Zahro putri Rasulullah Muhammad SAW.
Perjalanan sejarah kekhalifaan Khulafaur Rasyidin yang meliputi 4 orang khalifah begitu banyak memberikan pelajaran berharga bagi ummat Islam baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Salah satu hal yang dapat diambil pelajaran adalah sistem tata kelola pemerintahan yang diterapkan oleh para khalifah Khulafaur Rasyidin yang mengantarkan Islam dianut oleh masyarakat di negeri-negeri diluar Mekkah dan Madinah.
Dari uraian singkat diatas maka penulis tertarik membuat sebuah karya tulis yang membahas tentang Khulafaur Rasyidin yang meliputi pembentukan negara khilafah dan perkembangan Islam sebagai kekuatan politik.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pada pembahasan singkat pada point latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi fokus utama uraian makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana sejarah singkat perjalanan Khulafaur Rasyidin?
2.      Bagaimana kronologi pembentukan negara khilafah pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin?
3.      Bagaimana perkembangan Islam sebagai kekuatan politik pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin?
C.    Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal berikut :
1.      Sejarah singkat perjalanan Khulafaur Rasyidin?
2.      Kronologi pembentukan negara khilafah pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin?
3.      Perkembangan Islam sebagai kekuatan politik pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Singkat Khulafaur Rasyidin
Secara umum pemerintahan Khulafaur Rasyidin dibagi menjadi 4 periode kepemimpinan yaitu periode kepemimpinan Abu Bakar As-Siddiq, periode kepemimpinan Umar bin Khattab, periode kepemimpinan Utsman in Affan dan periode kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Ketika wafatnya Rasulullah SAW sekelompok sahabat dari golongan Anshor dan Muhajirin mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah untuk mebicarakan pengganti Rasulullah SAW sebagai kepala pemerintahan di Madinah yang kemudian mengangkat Abu Bakar As-Siddiq sebagai Khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW.
Pengangkatan Abu Bakar As-Siddiq tidak terjadi begitu saja. Selama pembicaraan di Saqifah Bani Sa’idah terjadi diskusi yang begitu alot karena masing-masing pihak mengkleim diri berhak menjadi pengganti Rasulullah sebagai pemimpin politik. Namun karena semangat persatuan akhirnya pertemuan tersebut memutuskan mengangkat Abu Bakar As-Siddiq sebagai khalifah.
“Abu Bakar mengemban jabatan sebagai khalifah selama kurang lebih 2 tahun yang beliau habiskan dengan menyelesaikan berbagai persolan dalam negeri yang muncul akibat wafatnya Nabi Muhammad SAW.”[1]
Berbagai permasalahan yang terjadi pada masa pemerintahan Abu Bakar diantaranya adalah :
1.      Menumpas nabi-nabi palsu.
2.      Memberantas orang-orang murtad.
3.      Menghadapi orang-orang yang enggan membayar zakat.
4.      Mengumpulkan Al-Qur’an.
“Pada masa kepemimpinan Abu Bakar Islam juga telah memulai ekspansinya ke beberapa daerah diluar kota Madinah diantaranya ke Iraq dan Syiria. Perluasan wilayah kekhalifaan Islam ini juga diikuti dengan diutusnya beberapa sahabat menjadi gubernur seperti Abu Musa Al-Asy’ari, Khalid bin Walid, Amr bin Ash dan lain-lain sebagainya.”[2]
“Setelah bertugas selama 2 tahun 3 bulan 10 hari Abu Bakar tutup usia pada tanggal 21 Jumadil Akhir 13 H/22 Agustus 634 M dan mewasiatkan pengganti dirinya sebagai khalifah kepada Umar bin Khattab.”[3]
Wasiat Abu Bakar As-Siddiq menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya merupakan keputusan yang telah Abu Bakar diskusikan dengan beberapa sahabat kala beliau sakit antara lain Abdur Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan.
“Masa pemerintahan Umar bin Khattab berlangsung selama 10 tahun 6 bulan 10 hari, beliau wafat 3 hari setelah ditikam oleh seorang budak Persia bernama Fairuz atau Abu Lu’lu yang menikamnya pada saat akan melaksanakan sholat subuh di Masjid Nabawi pada tanggal 1 Muharram 23 H.”[4]
Berbeda dengan Abu Bakar As-Siddiq yang mewasiatkan penggantinya sebagai khalifah, Umar bin Khattab menunjuk 6 orang sahabat yang ia amanahkan bermusyawarah untuk memilih salah satu dari mereka menjadi penggantinya. Keenam sahabat tersebut adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdur Rahman bin Auf dan Thalha bin Ubaidillah yang kemudian menyepakati mengangkat Utsman bin Affan sebagai pengganti Umar
Pada fase awal pemerintahannya Utsman bin Affan berhasil merebut simpati rakyat dengan berbagai kemajuan dan perluasan wilayah kekuasaan Islam. Pada masa pemerintahan Utsman pulalah penulisan kembali naskah Al-Qur’an ke dalam beberapa mushaf dilakukan yang kemudian disebar ke berbagai wilayah Islam pada waktu itu.
“Namun pada akhir-akhir periode pemerintahannya Utsman menghadapi kekecewaan ummat atas pola pemerintahannya  yang dianggap bermasalah karena mengangkat kerabat terdekatnya memangku jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan. Kekecewaan tersebut berujung pada kematiannya di tangan para pemberontak yang menyerbu kediamannya.”[5]
Kematian Utsman bin Affan semakin memperkeruh suasana ummat Islam yang memang telah kacau akibat pemberontakan. Di tengah kekacauan tersebut masyarakat kemudian beramai-ramai membay’at Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah pengganti Utsman yang diharapkan dapat meredam dan mengatasi kekacauan yang sedang terjadi.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ternyata tidak menyelesaikan permasalahan yang ada. Kekacauan demi kekacauan terjadi silih berganti, bahkan tercatat beberapa perang antar ummat Islam terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib salah satunya adalah Perang Jamal yang melibatkan kelompok Aisyah binti Abu Bakar As-Siddiq (Ummul Mu’minin) yang menuntut penyelesaian kasus pembunuhan Utsman bin Affan.
“Pemerintahan Ali bin Abi Thalib yang berjalan kurang lebih selama 6 tahun dapat dikatakan sebagai fase pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang paling kritis dan tidak stabil. Klimax dari kekacauan demi kekacauan pada masa itu terjadi pada tanggal 20 Ramadhan 40 H dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib oleh anggota kelompok Khawarij yang bernama Abdullah bin Mu’jam.”[6]
Dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib maka berakhirlah fase pemerintahan Khulafaur Rasyidin pada kekhalifaan Islam yang kemudian digantikan oleh Dinasti Umayyah. Berbagai sejarah yang telah di torehkan oleh kekhalifaan Khulafur Rasyidin tidak dapat dipungkiri begitu banyak memberika pengaruh terhadap perkembangan dan perluasan wilayah kekuasaan Islam.
B.     Pembentukan Negara Khilafah Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Menurut Abul A’la Al-Maududi “khilafah merupakan sebuah sistem pemerintahan yang demokratis yang berbeda dengan sistem demokratis dalam pandangan barat. Dalam sistem demokratis yang dianut oleh barat kekuasaan tertingi berada di tangan rakyat, sedangkan dalam khilafah Islamiyah sistem demokratis berada pada kekuasaan Allah dan kalifah sebagai wakil Allah dengan sukarela menjalankan pemerintahannya berdasarkan pada perundang-undangan Allah yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW.”[7]
Roda pemerintahan yang dijalankan oleh keempat khalifah Khulafaur Rasyidin merupakan pemerintahan yang senantiasa berdasarkan pada perundang-undangan Allah SWT dan petunjuk yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW serta asas musyawarah yang senantiasa dikedepankan oleh para khalifah dalam mengambil berbagai keputusan penting, misalnya keputusan mengumpulkan Al-Qur’am pada masa Abu Bakar As-Siddiq, keputusan sosok pengganti khalifah Umar bin Khattab dan berbagai keputusan strategis lainnya.
Khilafah Khulafaur Rasyidin dibangun atas dasar musyawarah, hal ini berdasarkan pada pengangkatan khalifah pertama yang dilakukan dengan jalan musyawarah.
“Sebagai sebuah negara yang baru berkembang, Madinah dibawah kekuasaan Abu Bakar As-Siddiq banyak menghadapi permasalahan internal khususnya dari sekelompok ummat yang mulai mengingkari ajaran Islam pasca wafatnya Rasulullah SAW. Abu Bakar As-Siddiq memerangi para orang-orang murtad, memberantas para nabi palsu yang bermunculan dan menghadapi kaum muslimin yang enggan membayar zakat.”[8]
Pada masa pertama ini, sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Abu Bakar As-Siddiq tidak berbeda jauh dengan sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Rasulullah SAW yaitu sistem pemerintahan yang bersifat central, dimana kekuasaan yudikatif, legislatif dan eksekutif berada penuh di tangan khalifah.
Cakupan wilayah Islam yang juga mulai bertambah membuat Abu Bakar As-Siddiq mengeluarkan kebijakan membagi wilayah hukum Madinah dan  menunjuk beberapa sahabat menjadi gubernur  sebagai wakil khalifah di wilayah hukum tersebut seperti Amr bin Ash, Utsman bin Abi Al-‘Ash, Muhajir bin Abi Umayyah, Siyad bin Ubaidillah Al-Anshori, Abu Musa Al-As’ari, Muaz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan, Khalid bin Walid dan sebagainya.
Dalam bidang sosial ekonomi Khalifah Abu Bakar As-Siddiq bercita-cita mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial yang merata kepada seluruh rakyat. Hal ini diwujudkan dengan mengolah zakat kaum muslimin, harta rampasan perang (ghanima) dan jizyah dari warga non-muslim sebagai sumber keuangan baitul mal yang kemudian dimanfaatkan untuk kesejahteraan para tentara, pegawai negara dan rakyat yang berhak menerima bantuan sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Hadist.
Pada akhir periode pemerintahannya Abu Bakar As-Siddiq membuat sebuah terobosan dengan menunjuk penggantinya sebagai khalifah yaitu Umar bin Khattab. Penunjukkan ini tentunya berbeda dengan pola penunjukkan beliau sebagai khalifah yang tidak pernah secara langsung ditunjuk oleh Rasulullah SAW menjadi penggantinya setelah beliau wafat.
“Keputusan Abu Bakar As-Siddiq menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya merupakan keputusan yang telah beliau diskusikan dengan para sahabat  diantaranya Utsman bin Affan dan Abdur Rahman bin Auf.”[9] hal ini menunjukkan bahwa pengambilan  berbagai keputusan penting terkait persoalan pemerintahan pada masa Abu Bakar As-Siddiq selalu mengedepankan asas musyawarah.
Setelah tongkat estafet pemerintahan Khulafaur Rasyidin beralih kepada Umar bin Khattab, mulailah diadakan pemisahan antara kekuasaan peradilan dan kekuasaan eksekutif. “Umar bin Khattab menunjuk hakim dalam sistem peradilan yang independen yang bertugas menyelesaikann persoalan rakyat terkait permasalahan hukum. Sistem peradilan ini terpisah dengan kekuasaan eksekutif namun tetap bertanggung jawab langsung kepada khalifah.”[10]
Untuk melengkapi tata kelola administrasi negara, Umar bin Khattab membentuk beberapa defisi yang membantunya mengurus berbagai urusan pemerintahan seperti Diwana Al-Ahdats (Defisi kepolisian), Diwana Al-Kharaj (Defisi pajak), Nazarat Al-Nafi’at (Defisi pekerjaan umum), Diwana Al-Jund (Defisi militer) dan Baitul Mal (Kas negara).
Wilayah kekuasaan Islam yang juga semakin berkembang pesat membuat Khalifah Umar bin Khattab kemudian membagi wilayah khilafah Islamiyah menjadi 8 wilayah yaitu Mekkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Mesir dan Palestina yang masing-masing wilayah diutus Gubernur sebagai wakil khalifah.
Di akhir periode kepemimpinannya, Umar bin Khattab membentuk panitia pemilihan pengganti dirinya sebagai khalifah. Panitia ini terdiri dari 6 orang sahabat yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalha bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdur Rahman bin Auf. Panitia ini bertugas bermusyawarah untuk memilih salah satu dari mereka menjadi khalifah pengganti Umar bin Khattab.
Suksesi kepemimpinan kemudian beralih ke tangan Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga Khulafaur Rasyidin. Utsman bin Affan diangkat sebagai Khalifah setelah panitia pemilihan yang dibentuk Umar bin Khattab menyepakati Utsman bin Affan menjadi khalifah berikutnya.
Pada periode Utsman bin Affan sistem pengelolaan ketata negaraan tidak berbeda jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh para pendahulunya. Utsman bin Affan membagi wilayah Khilafah Islamiyah menjadi 10 bagian dengan menunjuk Gubernur sebagai wakilnya di daerah. Kesepuluh wilayah tersebut meliputi :
1.      Mekkah yang dipimpin oleh Gubernur Nafi’ bin Al-Harits Al-Khuza’i.
2.      Thaif dipimpin oleh Gubernur Sufyan bin Abdullah At-Tsaqafi
3.      Shan’ah dipimpin oleh Gubernur Ya’lla bin Munabbih.
4.      Al-Janad dipimpin oleh Gubernur Abdullah bin Abi Rabiah.
5.      Bahrain dipimpin oleh Utsman bin Abi Al-Ashal At-Tsaqafi.
6.      Kufah dipimpin oleh Gubernur Al-Mughirah bin bin Syu’bah.
7.      Basrah dipimpin oleh Gubernur Abu Musa Al-Asy’ari.
8.      Damaskus dipimpin oleh Gubernur Muawiyah bin Abi Sufyan.
9.      Hinsh dipimpin oleh Gubernur Umar bin Sa’ad.
10.  Mesir dipimpin oleh Gubernur Amr bin Ash.[11]
Sedangkan dalam hal kekuasaan legislatif, Utsman bin Affan membentuk Dewan Penasehat Syura yang menjadi tempat Utsman bin Affan bermusyawarah dengan para sahabat terkait dengan kelancaran urusan pemerintah.
Akhir fase pemerintahan Utsman bin Affan begitu sangat berbeda dengan para pendahulunya, Utsman bin Affan lengser dari kedudukannya sebagai khalifah setelah terbunuh oleh para pemberontak yang merasa kecewa dengan sistem pemerintahan Utsman bin Affan yang dianggap penuh nepotisme.
Ali bin Abi Thalib yang didaulat oleh para pemberontak untuk menggantikan Utsman bin Affan tidak terlalu banyak membawa perubahan dalam sistem ketata negaraan Khilafah Islamiyah. Ali bin Abi Thalib yang mewarisi kekacauan yang ditinggalkan Utsman bin Affan bekerja keras mengembalikan stabilitas negara seperti pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.
C.    Perkembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik pada Masa Khulafaur Rasyidin
Perjuangan Rasulullah SAW menyebarkan ajaran Islam di tanah Arab begitu sangat sukses. Agama yang awalnya minoritas bahkan pemeluknya harus terusir dari tanah kelahiran mereka di Mekkah pada akhirnya menjadi agama yang banyak dianut oleh bangsa Arab termasuk di Kota Mekkah.
Islam perlahan namun pasti berkembang menjadi kekuatan politik baru ditengah 2 kekuatan politik besar yang telah ada jauh sebelumnya yakni Persia dan Romawi.
Begitu pula halnya masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang berlangsung kurang lebih selama 30 tahun memiliki campur tangan yang begitu besar mengembangkan Islam hingga mampu sejajar dengan Persia dan Romawi.
“Pada awal pemerintahan khalifah pertama yang diuji dengan pemberontakan orang-orang murtad dan para nabi palsu, Khalifah Abu Bakar As-Siddiq mengeluarkan kebijakan mengirim pasukan sebanyak 700 orang dibawah komando Usamah bin Zaid untuk memerangi kaum Romawi sebagai realisasi cita-cita Rasulullah SAW yang belum sempat diwujudkan.”[12]
Kebijakan ini sempat mendapatkan tentangan dari kalangan para sahabat termasuk Umar bin Khattab yang menilai kebijakan ini terlalu terburu-buru, sebab masih banyak persoalan dalam negeri yang perlu diselesaikan.
Kekhawatiran tersebut ternyata tidak terbukti dengan keberhasilan menuntaskan berbagai permasalahan yang muncul dan sekaligus menunjukkan kekuatan yang dimiliki oleh ummat Islam yang tetap dapat bersatu menghadapi berbagai tantangan lawan.
Setelah pemerintahan berada di tangan kemudi Umar bin Khattab, Islam semakin berkembang pesat dengan ditaklukannya berbagai wilayah seperti ibu kota Syria, Damaskus, Ardan dan Hinsh pada tahun 14 H di bawah kepemimpinan Abu Ubaidah Ibnu Al-Jarrah. Setahun kemudian pasukan muslim berhasil mengalahkan tentara Byzantium pada peperangan Yarmuk yang akhirnya membuat pasukan muslim berhasil menguasai Syiria secara keseluruhan.
Setelah Syiria berhasil dikuasai, ekspansi kaum muslimin berlanjut ke Mesir yang dipimpin oleh Amr bin Ash serta ke Iraq yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash dan Syurahbil Ibnu Hasanah yang selanjutnya menguasai Al-Qadisiyah sebuah kota dekat Hirah (Iraq).
“Pada tahun 637 M pemerintahan Umar bin Khattab berhasil menaklukkan Al-Madain dan 641 M berhasil menundukkan Mosul. Dengan demikian, pada masa pemerintahan Umar bin Khattab wilayah Khilafah Islamiyah meliputi seluruh Semenanjung Arabiyah, sebagian besar wilayah Persia dan sebagian wilayah romawi.”[13]
Masa pemerintahan Umar bin Khattab merupakan masa keemasan Islam.[14] Pada periode ini dikenal dengan pengembangan Islam dan perubahan-perubahannya. Umar bin Khattab menegakkan hukum-hukum Allah dan menjadikan Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber perundang-undangan Khilafah Islamiyah.
Berbagai kebijakan politik Umar bin Khattab seperti membentuk departemen dan membagi wilayah menjadi beberapa bagian, mengutus sahabat menjadi gubernur sebagai wakil khalifah di daerah, penerapan pajak perdagangan dan bea cukai serta beberapa kebijakan lainnya terbukti mampu menjaga stabilitas roda pemerintahannya hingga akhir.
Setelah peristiwa penikaman atas dirinya oleh Fairuz atau Abu Lu’lu yang di latar belakangi oleh pemecatan Mughirah Ibnu Syu’ba sebagai gubernur Kufah yang melakukan penghianatan dan pembocoran rahasia negara, Umar bin Khattab membentuk panitia untuk menunjuk penggantinya sebagai khalifah.
Untuk menghindari perpecahan dan sengketa politik antar sesama anggota panitia pemilihan, Umar bin Khattab menginstruksikan tata cara pemilihan pengganti dirinya yaitu :
1.      Jika 5 orang sepakat menunjuk salah seorang dari mereka dan 1 orang menolak keputusan itu, maka 1 orang ini hendaklah dipenggal kepalanya.
2.      Jika 4 orang dari mereka sepakat menunjuk salah seorang darinya dan 2 orang menolak keputusan tersebut, maka 2 orang ini hendaklah dipenggal kepalanya.
3.      Jika mereka terpecah menjadi 2 kelompok, hendaklah meminta keputusan Abdullah bin Umar untuk memilih salah satu kelompok.
4.      Jika salah satu kelompok masih menolak keputusan itu maka kelompok yang  dipilih adalah kelompok yang didalamnya terdapat Abdur Rahman bin Auf, sedangkan kelompok yang masih menolak hendaklah dibunuh.[15]
Kebijakan ini sukses meredam gesekan yang terjadi antar anggota panitia pemilihan yang pada akhirnya sepakat menunjuk Utsman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khattab.
Pada periode Utsman bin Affan ekspansi perluasan wilayah Khilafah Islamiyah terus berlanjut. Utsman bin Affan berhasil menaklukkan Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, Transoxatania dan Tabaristan.
Utsman bin Affan memegang tampuk kepemimpinan selama 12 tahun yang dihabiskan mengurusi berbagai permasalahan tentang kepentingan Islam seperti penyalinan kembali naskah Al-Qur’an menjadi beberapa mushaf dan berbagai kepetingan ummat seperti membangung infrastruktur demi kesejahteraan ummat dan kejayaan Islam.
Masa pemerintahan Utsman bin Affan berakhir dengan terjadinya pergolakan politik yang terjadi akibat kekecewaan sekelompok ummat terhadap berbagai kebijakan pemerintahan Utsman bin Affan yang dinilai hanya menjadi simbol khalifah sedangkan yang menjalankan roda pemerintahan adalah orang-orang terdekatnya.
Pergolakan politik di akhir masa pemerintahan Utsman bin Affan terus berlanjut hingga masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib yang membuat masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib menjadi tidak stabil. Menyadari kenyataan tersebut, Ali bin Abi Thalib kemudian mengambil kebijakan untuk membenahi dan menyusun arsip-arsip negara untuk mengamankannya serta mengatur dan mengkordinir tugas-tugas polisi.
Tercatat 2 perang besar antar ummat Islam yang terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib. Pertama, Perang Jamal yang melibatkan 3 sahabat besar Rasulullah SAW yakni Thalha bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah binti Abu Bakar (Ummul Mu’minin) yang dipicu oleh tuntutan mengusut kematian Utsman bin Affan. Kedua, Perang Shiffin yang dipicu oleh kekecewaan Muawiyah bin Abi Sufyan yang dicopot dari jabatannya sebagai Gubernur Damaskus.
Perseteruan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan berakhir dengan mengupayakan jalan damai dengan mengadakan tahkim (Arbitrase) yang justru  memicu permasalahan baru di kubu Ali bin Abi Thalib.
Kelompok yang menolak adanya tahkim (Arbitrase) menyatakan diri keluar dari barisan pendukung Ali bin Abi Thalib. Hal ini membuat pada akhir masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib kekuatan politik ummat Islam terpecah menjadi 3 kelompok yaitu kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib, kelompok pendukung Muawiyah bin Abi Sufyan dan kelompok yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib yang disebut Khawarij.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan makalah ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Khulafaur Rasyidin merupakan pelanjut perjuangan Rasulullah SAW menyebarkan Islam dan sebagai pengganti Rasulullah SAW memimpin ummat. Awal mula jejak Khulafaur Rasyidin berawal dengan diangkatnya Abu Bakar As-Siddiq menjadi khalifah pertama yang merupakan hasil musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah. Setelah masa pemerintahan Abu Bakar As-Siddiq berakhir, pemerintahan dilanjutkan oleh Umar bin Khattab yang telah diamanatkan dalam wasiat Abu Bakar As-Siddiq hasil musyawarah Abu Bakar As-Siddiq dengan para sahabat. Pemerintahan berikutnya dipegang oleh Utsman bin Affan yang terpilih dari hasil musyawarah panitia pemilihan khalifah yang dibentuk oleh Umar bin Khattab. Fase akhir pemerintahan Khulafaur Rasyidin berada di tangan Ali bin Abi Thalib yang di bay’at langsung di tengah kekacauan ummat akibat terbunuhnya Utsman bin Affan.
2.      Sistem pemerintahan Khulafaur Rasyidin dibangun atas dasar musyawarah dan berdasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW. Hal ini terlihat pada pengangkatan para khalifah terkecuali Ali bin Abi Thalib yang diangkat berdasarkan pada hasil musyawarah. Selain itu, pengambilan berbagai kebijakan pada masa Khulafaur Rasyidin senantiasa merujuk pada petunjuk Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW yang kemudian di musyawarahkan bersama para sahabat.
3.      Perkembangan Islam sebagai sebuah kekuatan politik baru di tengah 2 kekuatan politik besar dunia yang sudah ada sebelumnya telah dimulai sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW. Perjuangan tersebut kemudian dilanjutkan oelh para Khalifah Khulafaur Rasyidin hingga wilayah kekuasaan Islam meliputi Jazirah Arab, wilayah Persia dan wilayah Romawi. Puncak masa kejayaaan Islam terjadi pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab yang berhasil menaklukkan berbagai wilayah baik di Jazirah Arab, Persia maupun Romawi. Pada akhir masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin terjadi pertikaian yang melanda kaum muslimin yang berujung pada terbunuhnya Utsman bin Affan serta melahirkan 3 kekuatan politik baru dalam Islam yaitu kelompok pengikut Ali bin Abi Thalib, kelompok pengikut Muawiyah bin Abi Sufyan dan kelompok yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib yang disebut Khawarij.
B.     Saran/Harapan
Begitu banyak hikmah yang dapat kita petik dari perjalanan Khulafaur Rasyidin. Salah satu diantaranya, dalam menyelesaikan sebuah permasalahan dalam sebuah kelompok hendaknya kita mendahulukan asas musyawarah untuk mendapatkan solusi terbaik demi kebaikan bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Sin, Ahmad Ibrahim. 1996. Manajemen Syaria’ah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Al-Azizi, Abdul Syukur. 2009. Kitab Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Saufa.

Al-Maududi, Abul A’la. 1996. Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Mizan Publika.

Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Perkembangan Islam. Jakarta: Amzah.

Gulungan, Sayuti. 2002. Fiqhi Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Haekal, Muhammad Husain. 2003. Biografi Abu Bakar As-Siddiq. Cet. Ke-3. Bogor: Pustaka Putra Antar Nusa.

K, Farid. 2011. Biografi 12 Sahabat Rasulullah. Solo: Pustaka Media Ilmu.

Karim, Abdul. 2012. Sejarah Pemikiran dan Perkembangan Islam. Yogyakarta: Bagaskara.

Rofiq, Ahmad Khoirul. 2009. Sejarah Peradaban Islam; Dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: Nadin Offset.

Su’aib, Yusuf. 1999. Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin. Cet. Ke-VII. Jakarta: Bulan Bintang.


[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Perkembangan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), h. 93 - 94
[2] Ahmad Ibrahim Abu Sin, Manajemen Syaria’ah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 37 - 38
[3] Muhammad Husain Haekal, Biografi Abu Bakar As-Siddiq (Cet. Ke-3; Bogor: Pustaka Putra Antar Nusa, 2003) h. 363 - 364
[4] Samsul Munir, op. cit, h. 98
ibid, h. 113 - 114[5]
[6] Farid K, Biografi 12 Sahabat Rasulullah (Solo: Pustaka Media Ilmu, 2011), h. 14
[7] Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan Publika, 1996), h. 68
[8] Samsul Munir, op. cit, h. 93 - 94
[9] Muhammad Husain Haekal, op. cit, h. 380
[10] Ahmad Ibrahim Abu Sin, op. cit, h. 38 - 39
[11] Sayuti  Gulungan, Fiqhi Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 144
[12] Yusuf Su’aib, Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin (Cet. Ke-VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1999), h. 36
[13] Ahmad Khoirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam; Dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: Nadin Offset, 2009), h. 92
[14] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Perkembangan Islam (Yogyakarta: Bagaskara, 2012), h. 81
[15] Sayuti Gulungan, op. cit, h. 130
Read more ...
Belajar Blog dan SEO di trikmudahseo.blogspot.com - Support www.evafashionstore.com