السلام عليكم ورحمةالله وبركاته!

Deal with the problem yourself and acknowledge existence of life, but do not let yourself be mastered. Let yourself aware of the situation of education in the form of patience, happiness, and understanding the meaning

Hadapilah masalah hidup dirimu dan akuilah keberadaannya, tetapi jangan biarkan dirimu dikuasainya. Biarkanlah dirimu menyadari adanya pendidikan situasi berupa kesabaran, kebahagiaan, dan pemahaman makna.

Selasa, 07 Februari 2017

Makalah - Al-Miskawai & Teori Pemikirannya

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Satu tema yang tidak boleh lekang dari perbincangan para cendikiawan Islam adalah tokoh pemikiran filosof Ibnu Miskawaih yang sangat menarik kita bahas. Sebagai salah satu filosof muslim, Miskawaih telah banyak memberi sumbangsih pemikiran dalam sejarah filsafat Islam.
Namun dalam kenyataannya, sejarah dan karya Miskawaih kurang dapat dikenal dan diterima oleh dunia. Padahal, gelar Bapak Etika Islam sudah cukup membuktikan bahwa dirinya pantas disejajarkan dengan para filosof muslim, seperti al-Kindi atau al-Farabi.
Tak ayal, dengan latar belakang demikian, maka pembahasan yang memadai terkait hal itu tentu menjadi suatu pemikiran yang perlu diperhatikan. Guna mempermudah pembaca, penulisan makalah ini akan memaparkan biografi Ibnu Miskawaih serta pemikirannya.
B.     Rumusan Masalah
Dari penjelasan singkat diatas, maka fokus utama pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana biografi singkat Al-Miskawaih?
2.      Bagaimana teori pemikiran Al-Miskawaih?
C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut :
1.      Biografi singkat Al-Miskawaih.
2.      Teori pemikiran Al-Miskawaih.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Ibnu Miskawaih
“Ibnu Miskawaih atau Abu Ali Al- Khazin memiliki nama lengkap Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Ya’kub lahir sekitar tahun 941 masehi. Meninggal dunia pada tanggal 9 Shafar 421 Hijriah atau 16 Februari 1030 Masehi.”[1]
Miskawaih merupakan penganut Syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya pada sultan dan wazir-wazir Syi’ah dalam masa pemerintahan Bani Buwaihi (320-448 M). Ketika Sultan Ahmad ‘Adhud al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, dia menduduki jabatan yang penting, seperti Khazin, yaitu penjaga perpustakaan yang besar dan bendahara negara.
“Miskawaih merupakan seorang yang mempelajari falsafah terlebih dahulu tidak dimulai dengan ilmu alat lainnya berbeda dari kebiasaan para filosof lain. Yang terdahulu dipelajari adalah mengenai masalah akhlak dan ilmu jiwa bukan logika teori pengetahuan dan ilmu metodenya, tetapi beliau termasuk diantara tokoh pemikir yang menguasahi secara sempurna filsafat-filsafat dan ilmu-ilmu terdahulu.”[2]
“Miskawaih pada awalnya belajar sejarah terutama Tarikh al Thabari kepada Abu Bakr Ibnu Kamil al- Qadhi (350H/960M). Miskawaih juga banyak belajar ilmu-ilmu filsafat dari Ibnu al-Khammar dan memperkenalkan karya-karya Aristoteles. Selain itu Miskawaih menyerap ilmu kimia dari Abu al-Thayyib al Razi, seorang ahli kimia. Disiplin ilmunya meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai seorang filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Bisa jadi, hal ini dipicu oleh kekacauan masyarakat pada masanya.”[3]
B.     Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawaih
1.      Hikmah dan Falsafah
“Miskawaih membedakan pengertian antara hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz) segala yang ada (al-maujudat) sebagaimana adanya.  Dengan hikmah, seseorang mampu mengetahui perkara-perkara ilahiah (ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan). Hasil dari pengetahuan, seseorang mampu mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) untuk membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.”[4]
Sedangkan mengenai filsafat, Miskawaih membagi filsafat menjadi dua bagian, yaitu bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang digunakan untuk dapat mengetahui segala sesuatu sehingga pikirannya benar, keyakinannya benar, dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempuarnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.
2.      Metafisika
Metafisika Miskawaih mencakup pembahasan tentang bukti adanya Tuhan, jiwa, dan kenabian (nubuwwah). Secara lengkap, metafisika Miskawaih dituangkan dalam kitab al-Fauz al-Ashghar.
a.       Ketuhanan
Dalam kitab al-Fauz al-Ashghar, Miskawaih mengetengahkan uraian tentang sifat dasar Neoplatonisme. Yang agak tidak lazim. Dia mengklaim bahwa para filsuf klasik (filsuf Yunani) tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan, sehingga tidak masalah jika mempertemukan pemikiran mereka dengan pemikiran Islam. Miskawaih menyatukan antara pandangan bahwa Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan dengan gagasan emanasi terputus Neoplatonisme.
“Dia bahkan mengklaim bahwa penyamaan Aristoteles mengenai Sang Pencipta dengan “Penggerak yang Tidak Bergerak” (al-muharrik alladzi la ya-taharrak) merupakan argumen kuat tentang Sang Pencipta yang dapat diterima agama.”[5]
Menurut De Boer dalam Dedi Supriadi, “Miskawaih menyatakan bahwa Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas. Dikatakan jelas karena Tuhan adalah Yang Hak (Benar), dan Yang Hak adalah terang. Dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran manusia untuk menangkap-Nya, karena banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya.”[6]
Mengenai emanasi, Miskawaih mengatakan bahwa “entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal aktif ini, timbul jiwa; dan dengan perantaraan jiwa, timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan alam ini. Jika pancaran tersebut terhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan alam ini.”[7]
b.      Jiwa atau Roh
Jiwa yang merupakan limpahan dari akal aktif bersifat rohani, sehingga tidak dapat diraba menggunakan pancaindera. Jiwa bersifat rohani atau tidak bersifat material dibuktikan oleh Miskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang berlawanan. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran hitam-putih dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima salah satu saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang inderawi maupun yang spiritual.
Dalam jiwa, terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar dari apa yang diperoleh pancaindera. Perbedaan itu dilakukan dengan cara membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain, serta membedakannya. Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing pancaindera dan membetulkan kekeliruan-kekeliruan yang dialami pancaindera.
c.       Kenabian
Dalam hal kenabian, tampaknya tidak ada perbedaan pendapat antara Miskawaih dengan filsuf lain seperti Al-Farabi. Menurut Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran karena pengaruh akal aktif pada daya imajinasinya. Perbedaan antara Nabi dan para filsuf terletak pada cara memperolehnya. Para filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas: dari daya inderawi, daya khayal, daya pikir, sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh langsung dari akal aktif sebagai rahmat Tuhan.
Manusia membutuhkan Nabi untuk mengetahui hal-hal yang bermanfaat yang dapat membawanya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
3.      Teori Evolusi
Miskawaih juga mengemukakan teori evolusi yang secara mendasar sama dengan Ikhwan al-Shafa. Teori itu terdiri atas empat tahapan evolusi, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
Kombinasi substansi-substansi primer menghasilkan dunia mineral (evolusi mineral), menjadi rerumputan, tanaman, pepohonan—beberapa di antaranya menyentuh batas dunia hewan—sampai mereka mewujudkan ciri-ciri hewaniyah tertentu.
Di antara dunia tumbuhan dan dunia hewan terdapat suatu bentuk kehidupan tertentu, yang bukan kehidupan hewan dan bukan kehidupan tumbuhan namun memiliki ciri-ciri keduanya (misalnya koral/batu karang).
Langkah pertama di luar tahap kehidupan antara keduanya adalah perkembangan daya gerak, dan indra peraba pada cacing-cacing kecil yang merayap di atas bumi. Oleh diferensiasi, indra peraba mengembangkan bentuk-bentuk indra lain sampai mencapai dunia hewan yang lebih tinggi, yang di dalamnya intelegensi mulai  menyatakan dirinya dalam sebuah skala yang meninggi.
“Kemanusiaan terbentuk dari kera yang mengalami perkembangan lebih jauh, dan berangsur-angsur mengembangkan ketegakan tubuh dan daya pemahaman yang serupa manusia. di sini kehewanan berakhir, dan kemanusiaan bermula.”[8]
4.      Etika atau Akhlak
Paradigma pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang ahklak memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih banyak dipengaruhi oleh pemikiran filosof Muslim—seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Razi—dan dikombinasikan dengan pemikiran filosof Yunani—seperti Aristoteles, plato, dan Galen—sebagai pelengkap.
Jadi, Miskawaih lebih memilih untuk mendasarkan etikanya pada ajaran agama Islam (al-Qur’an dan hadits), mengambil pemikiran dari sumber lain jika sejalan dengan agama Islam, serta menolaknya jika bertentangan.
“Miskawaih mengartikan akhlak (jamak dari khuluk) sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Dengan kata lain, akhlak merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan.”[9]
Keadaan jiwa ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang berasal dari watak, dan yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Kedua watak tersebut pada hakekatnya tidak alami.
“Miskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi Miskawaih, akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan dan latihan-latihan.”[10] Pemikiran ini sejalan dengan ajaran agama Islam yang menyatakan bahwa kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.
5.      Sejarah
“Menurut Miskawaih, sejarah merupakan cerminan struktur politik atau ekonomi masyarakat pada masa tertentu. Atau dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan rekaman bangsa-bangsa atau negara-negara tentang pasang-surut kebudayaannya. Sejarah tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau menjadi suatu kegiatan organik, tetapi juga menentukan bentuk sesuatu yang akan datang. Jadi, sejarah memiliki nilai pragmatis bagi kehidupan setelahnya.”[11]
6.      Politik
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa “agama dan kerajaan bagai saudara kembar atau dua sisi dari mata uang yang sama yang tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan landasan dasar, kerajaan merupakan pengawalnya. Segala sesuatu tanpa landasan dasar akan mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa pengawal akan sia-sia.”[12]
Miskawaih menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya syariat Islam adalah imam yang kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Tidak dikatakan raja jika tidak menjaga keselamatan agama. Penguasa yang berpaling dari agama adalah penjajah (mutaghallib). Karena seorang raja yang melampaui batas kewenangannya akan mengakibatkan kelemahan dan kerusakan.
Kedudukan agama menjadi goyah, akhirnya kebahagiaan yang didambakan berbalik menjadi kesengsaraan, perselisihan, dan perpecahan. Jika demikian, tibalah saatnya untuk diadakan perubahan pimpinan kerajaan, yaitu imam yang sebenarnya dan raja yang adil.
7.      Kematian
Dalam membicarakan penyakit jiwa, Miskawaih menyinggung masalah takut mati. Kematian merupakan bukti keadilan Tuhan terhadap hamba-Nya. Jika manusia tidak pernah mati, maka orang-orang terdahulu akan tetap ada, sehingga akan mengakibatkan kurangnya ruang tampung di bumi.
“Secara rasional, dapat dinyatakan bahwa manusia hanyalah makhluk belaka yang pasti berakhir dengan kerusakan. Jika manusia tidak ingin rusak, maka seharusnya dia tidak ingin ada. Barang siapa tidak ingin ada, maka dia menginginkan kerusakan pada dirinya.”[13]
Untuk mengatasi perasaan takut mati ini, manusia harus memahami bahwa badan hanyalah alat yang digunakan jiwa sebagai perantara untuk hidup di dunia yang tidak kekal. Sakit yang dirasakan badan sebelum mati merupakan pengaruh jiwa yang pernah ada dalam badan tersebut, sehingga tidak akan lagi ada rasa sakit setelah jiwa terlepas dari badan. Jika telah memahami hakikat jiwa, seseorang akan mengetahui bahwa jiwa akan menemui kehidupan lain setelah kematian.
Sedangkan orang yang merasa takut mati karena hukuman setelah mati, harus memahami bahwa yang dia takuti bukanlah rasa sakit sebelum kematian, akan tetapi rasa sakit akibat hukuman terhadap perbuatan-perbuatan yang pernah dia lakukan semasa hidupnya. Oleh karena itu, seseorang harus hidup berhati-hati, tidak mudah melakukan maksiat, dan mendekatkan diri pada Tuhan. Orang yang mengetahui jalan untuk memperoleh kebahagiaan, jiwanya akan tenang dan yakin bahwa dirinya akan terbebas dari kesengsaraan setelah mati.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian singkat makalah ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Ibnu Miskawaih merupakan seorang filsuf Islam yang lahir pada tahun 941 M. Dia bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Yakub dan wafat pada tahun 1030 M. Dia hidup pada periode pemerintahan Dinasti Buwaihi, dia lebih dikenal pula sebagai seorang filsuf akhlak daripada filsuf ketuhanan.
2.      Sebagai seorang filsuf yang lebih populer dengan teori filsafat akhlaknya, teori pemikiran Miskawai banyak membahas tentang hikmah, filsafat, metafisika, teori evolusi, etika atau akhlak, sejarah, politik dan kematian.
B.     Saran/Harapan
Islam banyak memotifasi kita untuk menuntut ilmu setinggi dan sejauh mungkin. Olehnya itu marilah kita tekun menuntut ilmu demi mendapatkan ganjaran kebahagiaan dunia dan akhirat.


DAFTAR PUSTAKA

Dasoeki, Thawil Akhyar. 1993. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Temanggung: Dimas.

Musthofa. 2009. Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Nasution, Hasyimsyah. 2002. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Supriadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Zar, Sirajuddin. 2010. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.


[1] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam (Temanggung: Dimas, 1993), h. 47
[2] ibid.
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 127
[4] Musthofa, Filsafat Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), h. 169
[5] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), h. 113
[6] ibid.
[7] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 59
[8] ibid, h. 60
[9] Musthofa, op. cit, h. 177
[10] Sirajuddin Zar, op. cit, h. 135
[11] Hasyimsyah Nasution, op. cit, h. 66
[12] Mustofa, op. cit, h. 186
[13] ibid, h. 188
Baca artikel menarik lainnya :
Judul : Makalah - Al-Miskawai & Teori Pemikirannya; Ditulis oleh Syarif; Rating: 5 dari 5
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Jika mengutip harap berikan link yang menuju ke artikel Makalah - Al-Miskawai & Teori Pemikirannya ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatiannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Belajar Blog dan SEO di trikmudahseo.blogspot.com - Support www.evafashionstore.com