BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Satu tema
yang tidak boleh lekang dari perbincangan para cendikiawan Islam adalah tokoh
pemikiran filosof Ibnu Miskawaih yang sangat menarik kita bahas. Sebagai salah
satu filosof muslim, Miskawaih telah banyak memberi sumbangsih pemikiran dalam
sejarah filsafat Islam.
Namun dalam
kenyataannya, sejarah dan karya Miskawaih kurang dapat dikenal dan diterima
oleh dunia. Padahal, gelar Bapak Etika Islam sudah cukup membuktikan bahwa
dirinya pantas disejajarkan dengan para filosof muslim, seperti al-Kindi atau al-Farabi.
Tak ayal,
dengan latar belakang demikian, maka pembahasan yang memadai terkait hal itu
tentu menjadi suatu pemikiran yang perlu diperhatikan. Guna mempermudah
pembaca, penulisan makalah ini akan memaparkan biografi Ibnu Miskawaih serta
pemikirannya.
B. Rumusan Masalah
Dari
penjelasan singkat diatas, maka fokus utama pembahasan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana biografi singkat
Al-Miskawaih?
2.
Bagaimana teori pemikiran
Al-Miskawaih?
C. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai
berikut :
1.
Biografi singkat Al-Miskawaih.
2.
Teori pemikiran Al-Miskawaih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Miskawaih
“Ibnu
Miskawaih atau Abu Ali Al- Khazin memiliki nama lengkap Ahmad Ibn Muhammad Ibnu
Ya’kub lahir sekitar tahun 941 masehi. Meninggal dunia pada tanggal 9 Shafar
421 Hijriah atau 16 Februari 1030 Masehi.”[1]
Miskawaih
merupakan penganut Syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya pada
sultan dan wazir-wazir Syi’ah dalam masa pemerintahan Bani Buwaihi (320-448 M).
Ketika Sultan Ahmad ‘Adhud al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, dia
menduduki jabatan yang penting, seperti Khazin, yaitu penjaga perpustakaan yang
besar dan bendahara negara.
“Miskawaih
merupakan seorang yang mempelajari falsafah terlebih dahulu tidak dimulai
dengan ilmu alat lainnya berbeda dari kebiasaan para filosof lain. Yang
terdahulu dipelajari adalah mengenai masalah akhlak dan ilmu jiwa bukan logika
teori pengetahuan dan ilmu metodenya, tetapi beliau termasuk diantara tokoh
pemikir yang menguasahi secara sempurna filsafat-filsafat dan ilmu-ilmu terdahulu.”[2]
“Miskawaih
pada awalnya belajar sejarah terutama Tarikh
al Thabari kepada Abu Bakr Ibnu Kamil al- Qadhi (350H/960M). Miskawaih
juga banyak belajar ilmu-ilmu filsafat dari Ibnu al-Khammar dan memperkenalkan
karya-karya Aristoteles. Selain itu Miskawaih menyerap ilmu kimia dari Abu
al-Thayyib al Razi, seorang ahli kimia. Disiplin ilmunya meliputi kedokteran,
bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai seorang filosof
akhlak daripada filosof ketuhanan. Bisa jadi, hal ini dipicu oleh kekacauan
masyarakat pada masanya.”[3]
B. Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawaih
1.
Hikmah dan Falsafah
“Miskawaih membedakan pengertian antara hikmah
(kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah
keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz)
segala yang ada (al-maujudat) sebagaimana adanya. Dengan hikmah,
seseorang mampu mengetahui perkara-perkara ilahiah (ketuhanan) dan
perkara-perkara insaniah (kemanusiaan). Hasil dari pengetahuan, seseorang mampu
mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) untuk membedakan mana yang
wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.”[4]
Sedangkan mengenai filsafat, Miskawaih membagi
filsafat menjadi dua bagian, yaitu bagian teori dan bagian praktis. Bagian
teori merupakan kesempurnaan manusia yang digunakan untuk dapat mengetahui
segala sesuatu sehingga pikirannya benar, keyakinannya benar, dan tidak
ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempuarnaan
manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan
moral.
2.
Metafisika
Metafisika Miskawaih mencakup pembahasan tentang bukti
adanya Tuhan, jiwa, dan kenabian (nubuwwah). Secara lengkap, metafisika
Miskawaih dituangkan dalam kitab al-Fauz al-Ashghar.
a.
Ketuhanan
Dalam kitab al-Fauz al-Ashghar, Miskawaih
mengetengahkan uraian tentang sifat dasar Neoplatonisme. Yang agak tidak lazim.
Dia mengklaim bahwa para filsuf klasik (filsuf Yunani) tidak meragukan
eksistensi dan keesaan Tuhan, sehingga tidak masalah jika mempertemukan
pemikiran mereka dengan pemikiran Islam. Miskawaih menyatukan antara pandangan
bahwa Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan dengan gagasan emanasi terputus
Neoplatonisme.
“Dia bahkan mengklaim bahwa penyamaan Aristoteles
mengenai Sang Pencipta dengan “Penggerak yang Tidak Bergerak” (al-muharrik
alladzi la ya-taharrak) merupakan argumen kuat tentang Sang Pencipta yang dapat
diterima agama.”[5]
Menurut De Boer dalam Dedi Supriadi, “Miskawaih
menyatakan bahwa Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas.
Dikatakan jelas karena Tuhan adalah Yang Hak (Benar), dan Yang Hak adalah terang.
Dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran manusia untuk
menangkap-Nya, karena banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang
menutupi-Nya.”[6]
Mengenai emanasi, Miskawaih mengatakan bahwa “entitas
pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal aktif ini
tanpa perantara sesuatu pun. Ia kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal
aktif ini, timbul jiwa; dan dengan perantaraan jiwa, timbul planet (al-falak).
Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan alam ini. Jika
pancaran tersebut terhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan alam ini.”[7]
b.
Jiwa atau
Roh
Jiwa yang merupakan limpahan dari akal aktif bersifat
rohani, sehingga tidak dapat diraba menggunakan pancaindera. Jiwa bersifat
rohani atau tidak bersifat material dibuktikan oleh Miskawaih dengan adanya
kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang
berlawanan. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran hitam-putih dalam waktu yang
sama, sedangkan materi hanya dapat menerima salah satu saja. Jiwa dapat
menerima gambaran segala sesuatu, baik yang inderawi maupun yang spiritual.
Dalam jiwa, terdapat daya pengenalan akal yang tidak
didahului dengan pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa
mampu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar dari apa yang diperoleh
pancaindera. Perbedaan itu dilakukan dengan cara membanding-bandingkan
obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain, serta membedakannya. Dengan
demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing pancaindera dan membetulkan
kekeliruan-kekeliruan yang dialami pancaindera.
c.
Kenabian
Dalam hal kenabian, tampaknya tidak ada perbedaan
pendapat antara Miskawaih dengan filsuf lain seperti Al-Farabi. Menurut
Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat
kebenaran karena pengaruh akal aktif pada daya imajinasinya. Perbedaan antara
Nabi dan para filsuf terletak pada cara memperolehnya. Para filsuf memperoleh
kebenaran dari bawah ke atas: dari daya inderawi, daya khayal, daya pikir,
sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal
aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh langsung dari akal aktif sebagai rahmat
Tuhan.
Manusia membutuhkan Nabi untuk mengetahui hal-hal yang
bermanfaat yang dapat membawanya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
3. Teori Evolusi
Miskawaih juga mengemukakan teori evolusi yang secara
mendasar sama dengan Ikhwan al-Shafa. Teori itu terdiri atas empat tahapan
evolusi, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
Kombinasi substansi-substansi primer menghasilkan
dunia mineral (evolusi mineral), menjadi rerumputan, tanaman,
pepohonan—beberapa di antaranya menyentuh batas dunia hewan—sampai mereka
mewujudkan ciri-ciri hewaniyah tertentu.
Di antara dunia tumbuhan dan dunia hewan terdapat
suatu bentuk kehidupan tertentu, yang bukan kehidupan hewan dan bukan kehidupan
tumbuhan namun memiliki ciri-ciri keduanya (misalnya koral/batu karang).
Langkah pertama di luar tahap kehidupan antara
keduanya adalah perkembangan daya gerak, dan indra peraba pada cacing-cacing
kecil yang merayap di atas bumi. Oleh diferensiasi, indra peraba mengembangkan
bentuk-bentuk indra lain sampai mencapai dunia hewan yang lebih tinggi,
yang di dalamnya intelegensi mulai menyatakan dirinya dalam sebuah
skala yang meninggi.
“Kemanusiaan terbentuk dari kera yang mengalami
perkembangan lebih jauh, dan berangsur-angsur mengembangkan ketegakan tubuh dan
daya pemahaman yang serupa manusia. di sini kehewanan berakhir, dan kemanusiaan
bermula.”[8]
4. Etika atau Akhlak
Paradigma pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang ahklak
memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih banyak
dipengaruhi oleh pemikiran filosof Muslim—seperti al-Kindi, al-Farabi,
al-Razi—dan dikombinasikan dengan pemikiran filosof Yunani—seperti Aristoteles,
plato, dan Galen—sebagai pelengkap.
Jadi, Miskawaih lebih memilih untuk mendasarkan
etikanya pada ajaran agama Islam (al-Qur’an dan hadits), mengambil pemikiran
dari sumber lain jika sejalan dengan agama Islam, serta menolaknya jika
bertentangan.
“Miskawaih mengartikan akhlak (jamak dari khuluk)
sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan
tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Dengan kata lain, akhlak
merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara
spontan.”[9]
Keadaan jiwa ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang
berasal dari watak, dan yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Kedua watak
tersebut pada hakekatnya tidak alami.
“Miskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang
mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi Miskawaih, akhlak
yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan
dan latihan-latihan.”[10]
Pemikiran ini sejalan dengan ajaran agama Islam yang menyatakan bahwa
kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.
5. Sejarah
“Menurut Miskawaih, sejarah merupakan cerminan
struktur politik atau ekonomi masyarakat pada masa tertentu. Atau dapat
dikatakan bahwa sejarah merupakan rekaman bangsa-bangsa atau negara-negara
tentang pasang-surut kebudayaannya. Sejarah tidak hanya mengumpulkan
kenyataan-kenyataan yang telah lampau menjadi suatu kegiatan organik, tetapi
juga menentukan bentuk sesuatu yang akan datang. Jadi, sejarah memiliki nilai
pragmatis bagi kehidupan setelahnya.”[11]
6. Politik
Ibnu Miskawaih mengatakan
bahwa “agama dan kerajaan bagai saudara kembar atau dua sisi dari mata uang
yang sama yang tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama
merupakan landasan dasar, kerajaan merupakan pengawalnya. Segala sesuatu tanpa
landasan dasar akan mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa pengawal akan
sia-sia.”[12]
Miskawaih menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya
syariat Islam adalah imam yang kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Tidak
dikatakan raja jika tidak menjaga keselamatan agama. Penguasa yang berpaling
dari agama adalah penjajah (mutaghallib). Karena seorang raja yang melampaui
batas kewenangannya akan mengakibatkan kelemahan dan kerusakan.
Kedudukan agama menjadi goyah, akhirnya kebahagiaan
yang didambakan berbalik menjadi kesengsaraan, perselisihan, dan perpecahan.
Jika demikian, tibalah saatnya untuk diadakan perubahan pimpinan kerajaan,
yaitu imam yang sebenarnya dan raja yang adil.
7. Kematian
Dalam membicarakan penyakit jiwa, Miskawaih
menyinggung masalah takut mati. Kematian merupakan bukti keadilan Tuhan
terhadap hamba-Nya. Jika manusia tidak pernah mati, maka orang-orang terdahulu
akan tetap ada, sehingga akan mengakibatkan kurangnya ruang tampung di bumi.
“Secara rasional, dapat dinyatakan bahwa manusia
hanyalah makhluk belaka yang pasti berakhir dengan kerusakan. Jika manusia
tidak ingin rusak, maka seharusnya dia tidak ingin ada. Barang siapa tidak
ingin ada, maka dia menginginkan kerusakan pada dirinya.”[13]
Untuk mengatasi perasaan takut mati ini, manusia harus
memahami bahwa badan hanyalah alat yang digunakan jiwa sebagai perantara untuk
hidup di dunia yang tidak kekal. Sakit yang dirasakan badan sebelum mati
merupakan pengaruh jiwa yang pernah ada dalam badan tersebut, sehingga tidak
akan lagi ada rasa sakit setelah jiwa terlepas dari badan. Jika telah memahami
hakikat jiwa, seseorang akan mengetahui bahwa jiwa akan menemui kehidupan lain
setelah kematian.
Sedangkan orang yang merasa takut mati karena hukuman
setelah mati, harus memahami bahwa yang dia takuti bukanlah rasa sakit sebelum
kematian, akan tetapi rasa sakit akibat hukuman terhadap perbuatan-perbuatan
yang pernah dia lakukan semasa hidupnya. Oleh karena itu, seseorang harus hidup
berhati-hati, tidak mudah melakukan maksiat, dan mendekatkan diri pada Tuhan.
Orang yang mengetahui jalan untuk memperoleh kebahagiaan, jiwanya akan tenang
dan yakin bahwa dirinya akan terbebas dari kesengsaraan setelah mati.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian singkat makalah ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Ibnu Miskawaih merupakan seorang
filsuf Islam yang lahir pada tahun 941 M. Dia bernama lengkap Ahmad bin
Muhammad bin Yakub dan wafat pada tahun 1030 M. Dia hidup pada periode
pemerintahan Dinasti Buwaihi, dia lebih dikenal pula sebagai seorang filsuf akhlak
daripada filsuf ketuhanan.
2.
Sebagai seorang filsuf yang lebih
populer dengan teori filsafat akhlaknya, teori pemikiran Miskawai banyak
membahas tentang hikmah, filsafat, metafisika, teori evolusi, etika atau
akhlak, sejarah, politik dan kematian.
B. Saran/Harapan
Islam banyak
memotifasi kita untuk menuntut ilmu setinggi dan sejauh mungkin. Olehnya itu
marilah kita tekun menuntut ilmu demi mendapatkan ganjaran kebahagiaan dunia
dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Dasoeki,
Thawil Akhyar. 1993. Sebuah Kompilasi
Filsafat Islam. Temanggung: Dimas.
Musthofa.
2009. Filsafat Islam. Bandung: CV.
Pustaka Setia.
Nasution,
Hasyimsyah. 2002. Filsafat Islam.
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Supriadi,
Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam.
Bandung: CV. Pustaka Setia.
Zar,
Sirajuddin. 2010. Filsafat Islam: Filosof
dan Filsafatnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah
Kompilasi Filsafat Islam (Temanggung: Dimas, 1993), h. 47
[2] ibid.
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:
Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 127
[4] Musthofa, Filsafat Islam
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), h. 169
[5] Dedi Supriadi, Pengantar
Filsafat Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), h. 113
[6] ibid.
[7] Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 59
[8] ibid, h. 60
[9] Musthofa, op. cit, h. 177
[10] Sirajuddin Zar, op. cit, h.
135
[11] Hasyimsyah Nasution, op. cit,
h. 66
[12] Mustofa, op. cit, h. 186
[13] ibid, h. 188
Jika mengutip harap berikan link yang menuju ke artikel Makalah - Al-Miskawai & Teori Pemikirannya ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatiannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar