BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Mu’tazilah merupakan salah
satu aliran teologi dalam Islam yang mendahulukan dalil aqli daripada naqli. Kelompok
ini berpandangan bahwa orang-orang mu’min yang melakukan dosa besar tidak
termasuk kafir dan juga tidak termasuk mu’min akan tetapi berada antara
kedudukan kafir dan mu’min yang mereka sebut manzilah baynal manzilatain atau
yang kini sering diistilahkan fasiq.
Gerakan rasionalis Islam ini
memiliki 5 ajaran pokok yang mereka istilahkan Al-Ashlu Al-Khamzah yang harus diyakini oleh para penganut paham
Mu’tazilah. Kelima ajaran pokok Mu’tazilah tersebut adalah tauhid (Memurnikan Ke-Esaan Allah), al-‘adl (Keadilan Allah), al-wa’du wal al-wa’id (Janji dan ancaman
Allah), manzilah baynal manzilatain
(Posisi antara 2 tempat) dan amar ma’ruf nahi
mungkar (Perintah berbuat baik dan larangan berbuat kemungkaran).
Masa-masa kejayaan
perkembangan paham ini terjadi pada periode kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah khususnya pada masa
pemerintahan Khalifah Yazid bin Walid (Bani Umayyah), Khalifah Ma’mun bin Harun
Al-Rasyid (Bani Abbasiyah), Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid (Bani Abasiyah) dan
Al-Watsiq bin Mu’tashim (Bani Abbasiyah.).
Pada masa pemerintahan
Khalifah Ma’mun bin Harun Al-Rasyid paham Mu’tazilah ditetapkan menjadi mazhab
resmi negara yang membuat paham Mu’tazilah semakin berkembang pesat dan
mendapatkan wewenang penuh mendiskusikan pemahamannya.
Dalam perjalanannya kemudian
muncullah sebuah perdebatan antara para penganut paham Mu’tazilah dengan para
ulama yang kontra dengan pemahaman Mu’tazilah yang dikenal dengan peristiwa
Al-Mihnah. Perdebatan ini tercatat dalam sejarah sebagai sebuah peristiwa yang
sempat menimbulkan pertentangan yang menelan korban akibat kekerasan yang timbul
sebagai konsekuensi ketidak sepahaman dengan pemahaman Mu’tazilah.
Dari pemaparan singkat
diatas, maka penulis tertarik membuat sebuah karya tulis yang mengkaji tentang Al-Mihnah
khususnya pembahasan tentang sejarah peristiwa Al-Mihnah dan perkembangan
aliran Mu’tazilah pasca Al-Mihnah sampai munculnya Neo Mu’tazilah.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan pada uraian
singkat pada poin latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi fokus utama
pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
sejarah singkat peristiwa Al-Mihnah?
2.
Bagaimana
perkembangan aliran Mu’tazilah pasca peristiwa Al-Mihnah sampai munculnya
Neo-Mu’tazilah?
C. Tujuan
Penulisan
Bertitik tolak dari
permasalahan-permasalahan yang telah ditetapkan pada poin rumusan masalah, maka
tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui hal-hal berikut ini :
1.
Sejarah
singkat peristiwa Al-Mihnah.
2.
Perkembangan
aliran Mu’tazilah pasca peristiwa Al-Mihnah sampai munculnya Neo-Mu’tazilah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Singkat Peristiwa Al-Mihnah
“Secara bahasa kata Al-Mihnah
berasal dari kata Bahasa Arab yaitu mihnah
yang berarti pemeriksaan, penyaringan atau introgasi.”[1]
Istilah ini kemudian dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi pada masa
pemerintahan “Khalifah Ma’mun bin Harun Al-Rasyid dari Dinasti Bani Abbasiyah
yang memerintah tahun 170 – 218 H/785 – 833 M.”[2]
“Cikal bakal terjadinya
peristiwa Al-Mihnah dimulai saat Khalifah Ma’mun bin Harun Al-Rasyid menetapkan
paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara (218 H/833 M).”[3]
Dengan adanya kebijakan tersebut para penganut paham Mu’tazilah leluasa
menyebarkan doktrin-doktrin paham mereka yang dikenal rasionalis.
Salah satu permasalahan yang dipersoalkan
adalah perbedaan pandangan mereka terkait keqadiman Al-Qur’an. Kelompok
Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahluk bukan qadim. Hal ini
berbeda dengan para ulama diluar paham Mu’tazilah yang berpendapat bahwa
Al-Qur’an adalah qadim bukan makhluk.
Pokok pemikiran Mu’tazilah beranggapan bahwa
satu-satunya yang qadim di alam semesta ini hanyalah Allah semata dan meyakini
ada yang qadim selain Allah berarti musyrik dan orang-orang musyrik wajib
diberantas sampai ke akar-akrnya bahkan dengan kekerasan.[4]
Doktrin ini kemudian
melandasi Khalifah Ma’mun bin Harun Al-Rasyid mengeluarkan kebijakan memeriksa
keyakinan para ulama untuk menentukan apakah mereka pantas mendapatkan
kedudukan dalam stuktur pemerintahan. Kebijakan kontrofersi tersebut kemudian
dikenal dengan istilah gerakan Al-Mihnah.
Perintah ini dimulai dengan
dikirimkannya surat kepada Gubernur Bagdad Emier bin Ishaq bin Ibrahim yang
menginstruksikan pemeriksaan kepada kadhi, para pejabat peradilan dan
saksi-saksi yang diajukan dalam perkara di pengadilan. Sasaran pertama mereka
yang mengarah kepada orang-orang yang berurusan dengan urusan hukum dikarenakan
mereka menganggap bahwa persoalan keqadiman Al-Qur’an ini berpengaruh pada keapsahan
keputusan peradilan.
Setelah melakukan pemeriksaan
terhadap para unsur peradilan, instruksi berikutnya memerintahkan melakukan
pemeriksaan kepada 7 ahli hadist yakni Muhammad bin Sa’ad, Abu Muslim, Yahya
bin Ma’in, Zuhair bin Harb, Ismail bin Dawud, Ismail bin Abi Mas’ud dan Ahmad
bin Al-Dauraqi yang kesemuanya menerima paham kemakhlukan Al-Qur’an.
Instruksi ketiga yang
diterima oleh Emier Ishaq bin Ibrahim adalah melakukan pengujian pemahaman
terhadap para pejabat pemerintahan, fuqahah dan muhadisin. Dalam pemeriksaan
ini beberapa orang seperti Basyar bin Al-Walid, Ali bin Abi Muqatal, Ahmad bin
Hambal dan Ibnu Al-Baka’ memberikan jawaban yang tidak pasti atas pengakuan
paham kemakhlukan Al-Qur’an.
Ketidak pastian jawaban dalam
pemeriksaan periode ketiga tersebut membuat ketidak puasan Khalifah Ma’mun bin
Harun Al-Rasyid sehingga kembali diadakan pengujian terhadap 30 orang yang
terdiri dari kadhi, fuqahah dan muhadisin. Hasil dari pengujian tersebut
didapati bahwa hampir semua orang yang diperiksa mengakui paham kemakhlukan
Al-Qur’an kecuali 4 orang yaitu Ahmad bin Hambal, Sajadah, Qawadiri dan
Muhammad bin Nuh.
Keempat orang yang bersikukuh
menolak paham Mu’tazilah ini akhirnya diganjar dengan hukuman yang pada
akhirnya membuat Sajadah dan Qawadiri menyerah atas siksaan yang diterima dan
membuat mereka mengakui paham kemakhlukan Al-Qur’an ini.
Berbeda dengan 2 orang
rekannya yang menyerah karena tak sanggup menahan siksaan penguasa, Ahmad bin
Hambal bersama Muhammad bin Nuh tetap konsisten mempertahankan pendapatnya
meskipun harus berhadapan dengan hukuman dan siksaan dari penguasa yang
menganggap pemahaman mereka yang tidak mengakui kemakhlukan Al-Qur’an adalah
sesat dan harus diluruskan dengan cara apapun.
Khalifah Ma’mun bin Harun
Al-Rasyid menetapkan 4 macam tingkatan hukuman bagi para penentang paham
kemakhlukan Al-Qur’an. Keempat tingkatan hukuman tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Mereka
yang menolak, kesaksiannya tidak lagi dapat diterima di pengadilan.
2. Bagi
yang berprofesi sebagai guru atau muballigh, diputuskan tunjangan-tunjangannya
dari khalifah.
3. Bagi
yang tetap menolak akan dirantai dan dicambuk kemudian dijebloskan ke dalam
penjara.
4. Hukuman
terberat adalah hukuman mati dengan cara leher dipancung.[5]
Setelah periode pemerintahan
Khalifah Ma’mun bin Harun Al-Rasyid berakhir, gerakan Al-Mihnah ini kemudian
diwariskan pelaksanaannya kepada “Khalifah Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid yang memerintah
tahun 218 – 227 H/833 – 842 M.”[6]
Tidak berbeda jauh dengan
periode khalifah sebelumnya, Khalifah Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid gencar melakukan
pengujian terhadap pemahaman kemakhlukan Al-Qur’an dan menghukum orang-orang
yang tidak sepaham dengan pemahaman ini termasuk salah satunya adalah Ahmad bin
Hambal yang dijebloskan ke penjara karena beliau tetap bersih keras pada
pendiriannya meyakini bahwa Al-Qur’an bukan makhluk tapi Qadim.
“Gerakan Al-Mihnah kemudian
berlanjut pada periode pemerintahan Watsiq bin Mu’tashim yang berkuasa tahun
227 – 232 H/842 – 847 M.”[7]
Pada awal pemerintahannya, Watsiq begitu keras terhadap kelompok yang kontra
dengan gerakan Al-Mihnah ini. Namun pada akhir pemerintahannya, beliau
menyadari kekeliruannya dan menyesali segala tindakannya serta berusaha
menghapus gerakan Al-Mihnah.
Pada periode Watsiq bin
Mu’tashim tercatat beberapa orang seperti Yusuf bin Yahya Al-Buwaity, Ahmad bin
Nasir dan Naim bin Hammad harus meregang nyawa akibat ketidak sepahaman mereka
dengan pemikiran yang dianut pemerintah. Berbeda dengan nasib para penentang
Al-Mihnah lainnya, Ahmad bin Hambal mendapatkan perlakuan yang sedikit lunak
yakni hanya diasingkan keluar wilayah tempat tinggal khalifah.
Titik balik paradigma
Khalifah Al-Watsiq bin Mu’tashim bermula saat ditangkapnya seorang syeikh
bernama Abu Abdu Al-Rahman Abdullah bin Muhammad bin Ishaq Al-Azrani yang
menegur kebijakan gerakan Al-Mihnah yang tidak pernah dilaksanakan oleh
Rasulullah dan para sahabat yang termasuk kelompok Khulafaur Rasyidin.
Teguran tersebut membuat
Khalifah Watsiq bin Mu’tashim terdiam dan merenungi perkataan Syeikh Abu Abdu
Al-Rahman Abdullah. Dari kejadian itu Syeikh Abu Abdu Al-Rahman Abdullah lalu
dibebaskan dan Khalifah Watsiq bin Mu’tashim menghentikan berbagai kekerasan
yang timbul karena gerakan Al-Mihnah.
Periode kepemimpinan
berikutnya yakni Khalifah Mutawakil bin Mu’tashim mengambil kebijakan
menghapuskan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara yang sekaligus menjadi
akhir dari pemberlakuan segala pemahaman Mu’tazilah termasuk gerakan Al-Mihnah.
B. Perkembangan
Mu’tazilah Pasca Al-Mihnah Sampai Munculnya Neo Mu’tazilah
“Dicabutnya kebijakan paham
Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara oleh Mutawakil bin Mu’tashim pada tahun 232
H/847 M,”[8]
perlahan namun pasti dominasi Mu’tazilah di dunia pemerintahan Islam mulai
terkikis sedikit demi sedikit.
Kemunduran paham Mu’tazilah
semakin nyata terasa saat paham Asy’ariah berhasil menggeser dominasi
Mu’tazilah dalam hal pemikiran Islam. Namun meskipun memasuki fase kemunduran,
para penganut fanatik Mu’tazilah tetap menyebarkan pemahaman mereka salah
satunya adalah Abu Bakar Al-Zamaksyari yang mengarang kitab tafsir Al-Kassyaf
pada abad ke-4 Hijriyah.
Pergerakan para penganut
Mu’tazilah kembali mendapatkan angin segar saat masa pemerintahan Dinasti
Buwaihi. Ahmad bin Buwaihi pemimpin Dinasti Buwaihi (945 – 1055 M) yang
melakukan penyerangan ke Bagdad adalah penganut paham Syiah yang cenderung
rasionalis.
Tidak hanya itu, perdana
menteri dari Sultan Fakhr Al-Dawlah yang bernama Sahib bin Ad-Dadlah (977 – 995
M) menjadi penopang berkembangnya kembali aliran Mu’tazilah. Pada masa ini
lahirlah beberapa filosof-filosof Islam seperti Al-Farabi, Ibnu Maskawai,
Al-Ghazali, Al-Biruni dan Ibnu Haitami.
Setelah Dinasti Buwaihi
digulingkan oleh Dinasti Saljuk, tidak serta merta menggoyahkan kedudukan dan
kekuatan Mu’tazilah. Hal tersebut disebabkan karena Tughril memiliki perdana
menteri bernama Abu Nasir Muhammad bin Mansur Al-Kunduri (416 – 456 H) yang
merupakan penganut paham Mu’tazilah.
Kekuatan paham Mu’tazilah
kembali merosot saat Tughril lengser dari jabatannya yang kemudian digantikan
oleh Al-Faselan yang mengangkat Nizam Al-Muluk yang menganut paham Asy’ariah
yang bertentangan dengan paham Mu’tazilah.
Gaung para penganut
Mu’tazilah telah benar-benar menghilang pada saat bangsa Mongol melakukan
infasi terhadap dunia Islam yang meruntuhkan kekuatan kekhalifaan Bani
Abbasiyah. Meskipun aktifitas mereka tidak nampak lagi, paham mereka tetap
tumbuh subur di kalangan ummat Islam khususnya di kalangan aliran Syiah
Zaidiyah.
Di zaman pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, ajaran-ajaran rasionalis
Mu’tazilah mulai kembali bermunculan khususnya di kalangan-kalangan terpelajar.
Secara tidak langsung saat ini mulai banyak bermunculan pola-pola pemikiran
yang lebih mengutamakan pendekatan rasionalitas dibandingkan pendekatan wahyu
yang merupakan intisari pemikiran paham Mu’tazilah.
Terkait dengan kemunculan
paham Mu’tazilah di era modern ini, Abdul Rozaq dan Rosihon Anwar mengemukakan
bahwa “saat ini aliran-aliran teologi Islam seperti Khawarij, Murji’ah dan
Mu’tazilah tidak ada lagi wujud nyatanya dan telah menjadi bagian dari sejarah
perkembangan Islam.”[9]
Selain itu Harun Nasution menyatakan bahwa
dengan masuknya kembali paham rasionalisme ke dunia Islam, maka ajaran-ajaran
Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali di kalangan kaum intelejensia
Islam yang mendapatkan pendidikan barat. Kata Neo-Mu’tazilah mulai dipakai
dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.[10]
Di Indonesia sendiri isu
mengenai lahirnya paham Neo-Mu’tazilah telah menjadi isu yang cukup hangat.
Perkembangan media teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat di era
digital ini semakin menambah panas isu sensitif ini.
Salah satu contoh organisasi
Islam yang dituding sebagai Neo-Mut’azilah adalah “Hizbut Tahrir.”[11]
Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan pada Rabu, 11 Februari 2004 16:56:30
dinyatakan bahwa indikasi tudingan Hizbut Tahrir adalah Neo-Mu’tazilah
didasarkan pada pemahaman Hizbut Tahrir yang menganggap akal memiliki
keistimewaan yang lebih serta berhak menjadi penentu bagi wahyu.
Tak terima dengan tudingan
tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam laman resminya melakukan
pembelaan atas tuduhan yang mereka anggap keji itu. Pada tulisan yang berjudul
Hizbut Tahrir, Muktazilah? Yang dipublikasikan pada 27 Desember 2007 mereka
membantah anggapan-anggapan tersebut dengan dalih sebagai berikut :
Pertama: dalam konteks tauhid, khususnya yang
terkait dengan sifat dan zat Allah. Hizbut Tahrir berpandangan, bahwa persoalan
sifat dan zat Allah tidak bisa dikatakan satu, yakni sifat dan zat-Nya adalah
sama; atau dikatakan berbeda, yakni sifat dan zat (mawshûf)-Nya jelas tidak
sama, sebagaimana pendapat mazhab Ahlus sunnah. Yang benar menurut Hizb,
persoalan ini tidak perlu dibahas, karena masing-masing sama-sama berangkat
dari asumsi yang dibangun berdasarkan logika mantik, bukan fakta yang
sesungguhnya, sementara ‘fakta’ tentang Allah jelas tidak bisa dijangkau
oleh akal manusia. Karena itu, pembahasan tentang zat dan sifat Allah harus
dihentikan, dengan kata lain, tidak perlu dibahas.
Kedua: dalam konteks keadilan Allah, yang
berujung pada hurriyah al-irâdah, tawallud, dan sebagainya, Hizbut Tahrir
justru telah mampu mendudukkan persoalan tersebut dengan tepat dan akurat.
Pertama-tama, yang harus dijadikan sebagai obyek pembahasan adalah perbuatan
manusia, bukan perbuatan Allah. Setelah itu, diketahui bahwa perbuatan manusia
itu ternyata ada dua: mujbar (dipaksa) dan mukhayyar (tanpa paksaan). Dalam
konteks yang pertama, di situlah wilayah Qadha’ Allah, sedangkan yang kedua
tidak. Pada wilayah yang kedua itulah, manusia bebas menentukan pilihannya, dan
karenanya kemudian dia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Meski
demikian, dalam konteks yang pertama dan kedua, perbuatan manusia selalu
terikat dengan sesuatu berikut khashiyah-nya, di situlah wilayah Qadar, dalam
konteks Qadha’ dan Qadar, dimana baik dan buruknya bersumber dari Allah.
Ketiga: masalah manzilah bayna manzilatayn yang
sesungguhnya merupakan kongklusi logika mantik, dalam logika Hizb, tidak akan
pernah ada dan dibahas, karena memang merupakan sesuatu yang tidak bisa dibahas
oleh akal manusia.
Keempat: tentang pengagungan akal, justru
Hizbut Tahrirlah yang mampu merumuskan batasan akal dengan tepat. Persoalan ini
notabene belum mampu dilakukan oleh Muktazilah, Jabariah maupun Ahlus sunnah.
Akibatnya, mazhab-mazhab tersebut terjebak dalam perdebatan yang tak berujung,
termasuk tentang sifat Allah, serta Qadha’ dan Qadar.[12]
Tak hanya menyasar
organisasi, tokoh-tokoh intelektual muslim juga tak lepas dari tuduhan sebagai
antek-antek Neo-Mu’tazilah. Salah satu contoh cendikiawan muslim yang dianggap
berpaham Neo-Mu’tazilah adalah “Harun Nasution yang dinilai sebagai ilmuwan
yang menekankan pentingnya rasionalitas dalam beragama.”[13]
Penilaian terhadap Harun
Nasution didasari dari beberapa tulisan-tulisan beliau yang dianggap berusaha
menyebarkan idiologi rasionalitas. Salah satu contohnya adalah :
Sikap rasional dalam arti menempatkan rasio
atau akal yang tinggi dalam kehidupan beragama yang diperjuangkan kaum
Mu’tazilah setidak-tidaknya mempunyai 2 arti penting yaitu :
1. Manusia
mempunyai kemampuan yang besar dengan akal yang dimilikinya.
2. Segala
perbuatan manusia secara eskatologis tak ada yang sia-sia pada masa apapun.[14]
Meskipun terindikasi sebagai
Neo-Mu’tazilah, “Harun Nasution juga dalam beberapa tulisannya dengan tegas
menyayangkan sisi lain Mu’tazilah yang mengesahkan penggunaan cara-cara
kekerasan untuk memerangi kelompok teologi yang bertentangan dengannya.”[15]
Terlepas dari berbagai
tudingan terhadap organisasi-organisasi dan cendikiawan-cendekiawan Islam yang
dinilai mengikuti paham Mu’tazilah atau Neo-Mu’tazilah, seyogyanya kita jangan
mudah menfonis mereka tanpa ada pembuktian yang valid.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian
singkat yang telah dibahas dalam makalah ini, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Gerakan
Al-Mihnah merupakan gerakan pengujian pendapat tentang persoalan keqadiman
sesuatu selain Allah yang digagas oleh para penganut paham Mu’tazilah. Gerakan
ini berkembang pesat pada masa pemerintahan Ma’mun bin Harun Al-Rasyid,
Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid dan Watsiq bin Mu’tashim. Pengujian dilakukan
terhadap para kadhi, ulama dan pegawai pemerintahan untuk menentukan pantas
tidaknya mereka mendapatkan insentif dari negara, namun pada perkembangannya
kemudian ditetapkanlah berbagai hukuman bagi orang-orang yang tidak sepaham
dengan pemahaman yang diujikan dalam gerakan Al-Mihnah ini. Gerakan ini
berakhir pada akhir periode pemerintahan Watsiq bin Mu’tashim dan betul-betul
dihentikan pada periode Mutawakil bin Mu’tashim.
2.
Setelah
mengalami fase kemunduran pasca gerakan Al-Mihnah, Mu’tazilah kembali meraih
kejayaannya pada periode pemerintahan Dinasti Buwaihi dan masa kepemimpinan
Tughril yang memimpin Dinasti Saljuk. Periode kejatuhan Mu’tazilah terjadi
seiring runtuhnya Dinasti Bani Abbasiyah karena serangan bangsa Mongol.
Meskipun saat ini wujud Mu’tazilah telah menghilang, namun paham-paham
rasionalis mereka tetap berkembang hingga kini kemudian melahirkan
Neo-Mu’tazilah.
B. Saran
Di era kemajuan teknologi
saat ini yang berjalan seiring dengan perkembangan pemikiran Islam yang semakin
pesat, marilah kita meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT. Merebaknya
berbagai pola-pola pemikiran Islam modern harus kita waspadai agar kita tidak
terjerumus ke jalan yang melenceng dari apa yang telah diajarkan oleh Al-Qur’an
dan Hadist serta ijtihad para ulama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Manhaj. Hizbut
Tahrir Neo-Mu’tazilah. http://almanhaj.or.id/content/174/
slash/0/hizbut-tahrir-neo-mutazilah/. Diakses
pada tanggal 01 Januari 2016 (Internet).
Azizy, Ahmad Qodri Abdillah, dkk. 2005. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia.
Ternate: STAIN Ternate & Pustaka Pelajar.
Firdaus. 2007. Al-Syatibi. Jakarta: Erlangga.
Hisbut Tahrir Indonesia. Hizbut Tahrir Muktazilah?. http://hizbut-tahrir.or.id/2007/12/27/hizbut-tahrir-muktazilah/. Diakses
pada tanggal 01 Januari 2016 (Internet)
Lang, Jeffrey. 2006. Aku Menggugat Maka Aku Kian Beriman. Jakarta: Serambi.
Makdisi, George Abraham. 2005. Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan
Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Reinaisans Barat.
Jakarta: Serambi.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: UI Press.
______________. 1996. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.
______________. 2010/ Teologi Islam: Aliran-aliran Sejara Analisa Perbandingan. Jakarta:
UI Press.
Nata, Abuddin. 2001. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. Depok: Devisi Buku
Perguruan Tinggi Rajagrafindo Persada.
Rozaq, Abdul dan Anwar, Rosihon. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
[1] Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Depok: Devisi Buku
Perguruan Tinggi Rajagrafindo Persada, 2001), h. 229
[2] George Abraham Makdisi, Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam
dan Pengaruhnya terhadap Reinaisans Barat (Jakarta: Serambi, 2005), h. 30
[3] Jeffrey Lang, Aku Menggugat Maka Aku Kian Beriman (Jakarta: Serambi, 2006), h. 94
[4] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h. 52
[5] Firdaus, Al-Syatibi
(Jakarta: Erlangga, 2007), h. 35
[6] George Abraham Makdisi, ibid.
[7] ibid.
[8] ibid.
[9] Abdul Rozaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia,
2001), h. 28
[10] Harun Nasution, op. cit, h. 12
[11] Al-Manhaj, Hizbut
Tahrir Neo-Mu’tazilah, http://almanhaj.or.id/content/174/slash/0/hizbut-tahrir-neo-mutazilah/, diakses pada tanggal 01 Januari 2016
(Internet)
[12] Hisbut Tahrir Indonesia, Hizbut Tahrir Muktazilah?, http://hizbut-tahrir.or.id/2007/12/27/hizbut-tahrir-muktazilah/, diakses pada tanggal 01 Januari 2016
(Internet)
[13] Ahmad Qodri Abdillah Azizy, dkk, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia
(Ternate: STAIN Ternate & Pustaka Pelajar, 2005), h. 205
[14] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1996), h. 83
[15] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejara Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI Press, 2010), h. 58
Jika mengutip harap berikan link yang menuju ke artikel Makalah - Al-Mihnah & Kemunculan Gerakan Neo Mu'tazilah ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatiannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar