السلام عليكم ورحمةالله وبركاته!

Deal with the problem yourself and acknowledge existence of life, but do not let yourself be mastered. Let yourself aware of the situation of education in the form of patience, happiness, and understanding the meaning

Hadapilah masalah hidup dirimu dan akuilah keberadaannya, tetapi jangan biarkan dirimu dikuasainya. Biarkanlah dirimu menyadari adanya pendidikan situasi berupa kesabaran, kebahagiaan, dan pemahaman makna.

Selasa, 07 Februari 2017

Makalah - Al-Mihnah & Kemunculan Gerakan Neo Mu'tazilah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Mu’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam Islam yang mendahulukan dalil aqli daripada naqli. Kelompok ini berpandangan bahwa orang-orang mu’min yang melakukan dosa besar tidak termasuk kafir dan juga tidak termasuk mu’min akan tetapi berada antara kedudukan kafir dan mu’min yang mereka sebut manzilah baynal manzilatain atau yang kini sering diistilahkan fasiq.
Gerakan rasionalis Islam ini memiliki 5 ajaran pokok yang mereka istilahkan Al-Ashlu Al-Khamzah yang harus diyakini oleh para penganut paham Mu’tazilah. Kelima ajaran pokok Mu’tazilah tersebut adalah tauhid (Memurnikan Ke-Esaan Allah), al-‘adl (Keadilan Allah), al-wa’du wal al-wa’id (Janji dan ancaman Allah), manzilah baynal manzilatain (Posisi antara 2 tempat) dan amar ma’ruf nahi mungkar (Perintah berbuat baik dan larangan berbuat kemungkaran).
Masa-masa kejayaan perkembangan paham ini terjadi pada periode kekuasaan Bani Umayyah dan  Bani Abbasiyah khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Yazid bin Walid (Bani Umayyah), Khalifah Ma’mun bin Harun Al-Rasyid (Bani Abbasiyah), Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid (Bani Abasiyah) dan Al-Watsiq bin Mu’tashim (Bani Abbasiyah.).
Pada masa pemerintahan Khalifah Ma’mun bin Harun Al-Rasyid paham Mu’tazilah ditetapkan menjadi mazhab resmi negara yang membuat paham Mu’tazilah semakin berkembang pesat dan mendapatkan wewenang penuh mendiskusikan pemahamannya.
Dalam perjalanannya kemudian muncullah sebuah perdebatan antara para penganut paham Mu’tazilah dengan para ulama yang kontra dengan pemahaman Mu’tazilah yang dikenal dengan peristiwa Al-Mihnah. Perdebatan ini tercatat dalam sejarah sebagai sebuah peristiwa yang sempat menimbulkan pertentangan yang menelan korban akibat kekerasan yang timbul sebagai konsekuensi ketidak sepahaman dengan pemahaman Mu’tazilah.
Dari pemaparan singkat diatas, maka penulis tertarik membuat sebuah karya tulis yang mengkaji tentang Al-Mihnah khususnya pembahasan tentang sejarah peristiwa Al-Mihnah dan perkembangan aliran Mu’tazilah pasca Al-Mihnah sampai munculnya Neo Mu’tazilah.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian singkat pada poin latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi fokus utama pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana sejarah singkat peristiwa Al-Mihnah?
2.      Bagaimana perkembangan aliran Mu’tazilah pasca peristiwa Al-Mihnah sampai munculnya Neo-Mu’tazilah?


C.    Tujuan Penulisan
Bertitik tolak dari permasalahan-permasalahan yang telah ditetapkan pada poin rumusan masalah, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui hal-hal berikut ini :
1.      Sejarah singkat peristiwa Al-Mihnah.
2.      Perkembangan aliran Mu’tazilah pasca peristiwa Al-Mihnah sampai munculnya Neo-Mu’tazilah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Singkat Peristiwa Al-Mihnah
“Secara bahasa kata Al-Mihnah berasal dari kata Bahasa Arab yaitu mihnah yang berarti pemeriksaan, penyaringan atau introgasi.”[1] Istilah ini kemudian dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan “Khalifah Ma’mun bin Harun Al-Rasyid dari Dinasti Bani Abbasiyah yang memerintah tahun 170 – 218 H/785 – 833 M.”[2]
“Cikal bakal terjadinya peristiwa Al-Mihnah dimulai saat Khalifah Ma’mun bin Harun Al-Rasyid menetapkan paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara (218 H/833 M).”[3] Dengan adanya kebijakan tersebut para penganut paham Mu’tazilah leluasa menyebarkan doktrin-doktrin paham mereka yang dikenal rasionalis.
Salah satu permasalahan yang dipersoalkan adalah perbedaan pandangan mereka terkait keqadiman Al-Qur’an. Kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahluk bukan qadim. Hal ini berbeda dengan para ulama diluar paham Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah qadim bukan makhluk.
Pokok pemikiran Mu’tazilah beranggapan bahwa satu-satunya yang qadim di alam semesta ini hanyalah Allah semata dan meyakini ada yang qadim selain Allah berarti musyrik dan orang-orang musyrik wajib diberantas sampai ke akar-akrnya bahkan dengan kekerasan.[4]
Doktrin ini kemudian melandasi Khalifah Ma’mun bin Harun Al-Rasyid mengeluarkan kebijakan memeriksa keyakinan para ulama untuk menentukan apakah mereka pantas mendapatkan kedudukan dalam stuktur pemerintahan. Kebijakan kontrofersi tersebut kemudian dikenal dengan istilah gerakan Al-Mihnah.
Perintah ini dimulai dengan dikirimkannya surat kepada Gubernur Bagdad Emier bin Ishaq bin Ibrahim yang menginstruksikan pemeriksaan kepada kadhi, para pejabat peradilan dan saksi-saksi yang diajukan dalam perkara di pengadilan. Sasaran pertama mereka yang mengarah kepada orang-orang yang berurusan dengan urusan hukum dikarenakan mereka menganggap bahwa persoalan keqadiman Al-Qur’an ini berpengaruh pada keapsahan keputusan peradilan.
Setelah melakukan pemeriksaan terhadap para unsur peradilan, instruksi berikutnya memerintahkan melakukan pemeriksaan kepada 7 ahli hadist yakni Muhammad bin Sa’ad, Abu Muslim, Yahya bin Ma’in, Zuhair bin Harb, Ismail bin Dawud, Ismail bin Abi Mas’ud dan Ahmad bin Al-Dauraqi yang kesemuanya menerima paham kemakhlukan Al-Qur’an.
Instruksi ketiga yang diterima oleh Emier Ishaq bin Ibrahim adalah melakukan pengujian pemahaman terhadap para pejabat pemerintahan, fuqahah dan muhadisin. Dalam pemeriksaan ini beberapa orang seperti Basyar bin Al-Walid, Ali bin Abi Muqatal, Ahmad bin Hambal dan Ibnu Al-Baka’ memberikan jawaban yang tidak pasti atas pengakuan paham kemakhlukan Al-Qur’an.
Ketidak pastian jawaban dalam pemeriksaan periode ketiga tersebut membuat ketidak puasan Khalifah Ma’mun bin Harun Al-Rasyid sehingga kembali diadakan pengujian terhadap 30 orang yang terdiri dari kadhi, fuqahah dan muhadisin. Hasil dari pengujian tersebut didapati bahwa hampir semua orang yang diperiksa mengakui paham kemakhlukan Al-Qur’an kecuali 4 orang yaitu Ahmad bin Hambal, Sajadah, Qawadiri dan Muhammad bin Nuh.
Keempat orang yang bersikukuh menolak paham Mu’tazilah ini akhirnya diganjar dengan hukuman yang pada akhirnya membuat Sajadah dan Qawadiri menyerah atas siksaan yang diterima dan membuat mereka mengakui paham kemakhlukan Al-Qur’an ini.
Berbeda dengan 2 orang rekannya yang menyerah karena tak sanggup menahan siksaan penguasa, Ahmad bin Hambal bersama Muhammad bin Nuh tetap konsisten mempertahankan pendapatnya meskipun harus berhadapan dengan hukuman dan siksaan dari penguasa yang menganggap pemahaman mereka yang tidak mengakui kemakhlukan Al-Qur’an adalah sesat dan harus diluruskan dengan cara apapun.
Khalifah Ma’mun bin Harun Al-Rasyid menetapkan 4 macam tingkatan hukuman bagi para penentang paham kemakhlukan Al-Qur’an. Keempat tingkatan hukuman tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Mereka yang menolak, kesaksiannya tidak lagi dapat diterima di pengadilan.
2.      Bagi yang berprofesi sebagai guru atau muballigh, diputuskan tunjangan-tunjangannya dari khalifah.
3.      Bagi yang tetap menolak akan dirantai dan dicambuk kemudian dijebloskan ke dalam penjara.
4.      Hukuman terberat adalah hukuman mati dengan cara leher dipancung.[5]
Setelah periode pemerintahan Khalifah Ma’mun bin Harun Al-Rasyid berakhir, gerakan Al-Mihnah ini kemudian diwariskan pelaksanaannya kepada “Khalifah Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid yang memerintah tahun 218 – 227 H/833 – 842 M.”[6]
Tidak berbeda jauh dengan periode khalifah sebelumnya, Khalifah Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid gencar melakukan pengujian terhadap pemahaman kemakhlukan Al-Qur’an dan menghukum orang-orang yang tidak sepaham dengan pemahaman ini termasuk salah satunya adalah Ahmad bin Hambal yang dijebloskan ke penjara karena beliau tetap bersih keras pada pendiriannya meyakini bahwa Al-Qur’an bukan makhluk tapi Qadim.
“Gerakan Al-Mihnah kemudian berlanjut pada periode pemerintahan Watsiq bin Mu’tashim yang berkuasa tahun 227 – 232 H/842 – 847 M.”[7] Pada awal pemerintahannya, Watsiq begitu keras terhadap kelompok yang kontra dengan gerakan Al-Mihnah ini. Namun pada akhir pemerintahannya, beliau menyadari kekeliruannya dan menyesali segala tindakannya serta berusaha menghapus gerakan Al-Mihnah.
Pada periode Watsiq bin Mu’tashim tercatat beberapa orang seperti Yusuf bin Yahya Al-Buwaity, Ahmad bin Nasir dan Naim bin Hammad harus meregang nyawa akibat ketidak sepahaman mereka dengan pemikiran yang dianut pemerintah. Berbeda dengan nasib para penentang Al-Mihnah lainnya, Ahmad bin Hambal mendapatkan perlakuan yang sedikit lunak yakni hanya diasingkan keluar wilayah tempat tinggal khalifah.
Titik balik paradigma Khalifah Al-Watsiq bin Mu’tashim bermula saat ditangkapnya seorang syeikh bernama Abu Abdu Al-Rahman Abdullah bin Muhammad bin Ishaq Al-Azrani yang menegur kebijakan gerakan Al-Mihnah yang tidak pernah dilaksanakan oleh Rasulullah dan para sahabat yang termasuk kelompok Khulafaur Rasyidin.
Teguran tersebut membuat Khalifah Watsiq bin Mu’tashim terdiam dan merenungi perkataan Syeikh Abu Abdu Al-Rahman Abdullah. Dari kejadian itu Syeikh Abu Abdu Al-Rahman Abdullah lalu dibebaskan dan Khalifah Watsiq bin Mu’tashim menghentikan berbagai kekerasan yang timbul karena gerakan Al-Mihnah.
Periode kepemimpinan berikutnya yakni Khalifah Mutawakil bin Mu’tashim mengambil kebijakan menghapuskan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara yang sekaligus menjadi akhir dari pemberlakuan segala pemahaman Mu’tazilah termasuk gerakan Al-Mihnah.

B.     Perkembangan Mu’tazilah Pasca Al-Mihnah Sampai Munculnya Neo Mu’tazilah
“Dicabutnya kebijakan paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara oleh Mutawakil bin Mu’tashim pada tahun 232 H/847 M,”[8] perlahan namun pasti dominasi Mu’tazilah di dunia pemerintahan Islam mulai terkikis sedikit demi sedikit.
Kemunduran paham Mu’tazilah semakin nyata terasa saat paham Asy’ariah berhasil menggeser dominasi Mu’tazilah dalam hal pemikiran Islam. Namun meskipun memasuki fase kemunduran, para penganut fanatik Mu’tazilah tetap menyebarkan pemahaman mereka salah satunya adalah Abu Bakar Al-Zamaksyari yang mengarang kitab tafsir Al-Kassyaf pada abad ke-4 Hijriyah.
Pergerakan para penganut Mu’tazilah kembali mendapatkan angin segar saat masa pemerintahan Dinasti Buwaihi. Ahmad bin Buwaihi pemimpin Dinasti Buwaihi (945 – 1055 M) yang melakukan penyerangan ke Bagdad adalah penganut paham Syiah yang cenderung rasionalis.
Tidak hanya itu, perdana menteri dari Sultan Fakhr Al-Dawlah yang bernama Sahib bin Ad-Dadlah (977 – 995 M) menjadi penopang berkembangnya kembali aliran Mu’tazilah. Pada masa ini lahirlah beberapa filosof-filosof Islam seperti Al-Farabi, Ibnu Maskawai, Al-Ghazali, Al-Biruni dan Ibnu Haitami.
Setelah Dinasti Buwaihi digulingkan oleh Dinasti Saljuk, tidak serta merta menggoyahkan kedudukan dan kekuatan Mu’tazilah. Hal tersebut disebabkan karena Tughril memiliki perdana menteri bernama Abu Nasir Muhammad bin Mansur Al-Kunduri (416 – 456 H) yang merupakan penganut paham Mu’tazilah.
Kekuatan paham Mu’tazilah kembali merosot saat Tughril lengser dari jabatannya yang kemudian digantikan oleh Al-Faselan yang mengangkat Nizam Al-Muluk yang menganut paham Asy’ariah yang bertentangan dengan paham Mu’tazilah.
Gaung para penganut Mu’tazilah telah benar-benar menghilang pada saat bangsa Mongol melakukan infasi terhadap dunia Islam yang meruntuhkan kekuatan kekhalifaan Bani Abbasiyah. Meskipun aktifitas mereka tidak nampak lagi, paham mereka tetap tumbuh subur di kalangan ummat Islam khususnya di kalangan aliran Syiah Zaidiyah.
Di zaman pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, ajaran-ajaran rasionalis Mu’tazilah mulai kembali bermunculan khususnya di kalangan-kalangan terpelajar. Secara tidak langsung saat ini mulai banyak bermunculan pola-pola pemikiran yang lebih mengutamakan pendekatan rasionalitas dibandingkan pendekatan wahyu yang merupakan intisari pemikiran paham Mu’tazilah.
Terkait dengan kemunculan paham Mu’tazilah di era modern ini, Abdul Rozaq dan Rosihon Anwar mengemukakan bahwa “saat ini aliran-aliran teologi Islam seperti Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tidak ada lagi wujud nyatanya dan telah menjadi bagian dari sejarah perkembangan Islam.”[9]
Selain itu Harun Nasution menyatakan bahwa dengan masuknya kembali paham rasionalisme ke dunia Islam, maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali di kalangan kaum intelejensia Islam yang mendapatkan pendidikan barat. Kata Neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.[10]
Di Indonesia sendiri isu mengenai lahirnya paham Neo-Mu’tazilah telah menjadi isu yang cukup hangat. Perkembangan media teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat di era digital ini semakin menambah panas isu sensitif ini.
Salah satu contoh organisasi Islam yang dituding sebagai Neo-Mut’azilah adalah “Hizbut Tahrir.”[11] Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan pada Rabu, 11 Februari 2004 16:56:30 dinyatakan bahwa indikasi tudingan Hizbut Tahrir adalah Neo-Mu’tazilah didasarkan pada pemahaman Hizbut Tahrir yang menganggap akal memiliki keistimewaan yang lebih serta berhak menjadi penentu bagi wahyu.
Tak terima dengan tudingan tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam laman resminya melakukan pembelaan atas tuduhan yang mereka anggap keji itu. Pada tulisan yang berjudul Hizbut Tahrir, Muktazilah? Yang dipublikasikan pada 27 Desember 2007 mereka membantah anggapan-anggapan tersebut dengan dalih sebagai berikut :
Pertama: dalam konteks tauhid, khususnya yang terkait dengan sifat dan zat Allah. Hizbut Tahrir berpandangan, bahwa persoalan sifat dan zat Allah tidak bisa dikatakan satu, yakni sifat dan zat-Nya adalah sama; atau dikatakan berbeda, yakni sifat dan zat (mawshûf)-Nya jelas tidak sama, sebagaimana pendapat mazhab Ahlus  sunnah. Yang benar menurut Hizb, persoalan ini tidak perlu dibahas, karena masing-masing sama-sama berangkat dari asumsi yang dibangun berdasarkan logika mantik, bukan fakta yang sesungguhnya, sementara ‘fakta’ tentang Allah  jelas tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Karena itu, pembahasan tentang zat dan sifat Allah harus dihentikan, dengan kata lain, tidak perlu dibahas.
Kedua: dalam konteks keadilan Allah, yang berujung pada hurriyah al-irâdah, tawallud, dan sebagainya, Hizbut Tahrir justru telah mampu mendudukkan persoalan tersebut dengan tepat dan akurat. Pertama-tama, yang harus dijadikan sebagai obyek pembahasan adalah perbuatan manusia, bukan perbuatan Allah. Setelah itu, diketahui bahwa perbuatan manusia itu ternyata ada dua: mujbar (dipaksa) dan mukhayyar (tanpa paksaan). Dalam konteks yang pertama, di situlah wilayah Qadha’ Allah, sedangkan yang kedua tidak. Pada wilayah yang kedua itulah, manusia bebas menentukan pilihannya, dan karenanya kemudian dia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Meski demikian, dalam konteks yang pertama dan kedua, perbuatan manusia selalu terikat dengan sesuatu berikut khashiyah-nya, di situlah wilayah Qadar, dalam konteks Qadha’ dan Qadar, dimana baik dan buruknya bersumber dari Allah.
Ketiga: masalah manzilah bayna manzilatayn yang sesungguhnya merupakan kongklusi logika mantik, dalam logika Hizb, tidak akan pernah ada dan dibahas, karena memang merupakan sesuatu yang tidak bisa dibahas oleh akal manusia.
Keempat: tentang pengagungan akal, justru Hizbut Tahrirlah yang mampu merumuskan batasan akal dengan tepat. Persoalan ini notabene belum mampu dilakukan oleh Muktazilah, Jabariah maupun Ahlus sunnah. Akibatnya, mazhab-mazhab tersebut terjebak dalam perdebatan yang tak berujung, termasuk tentang sifat Allah, serta Qadha’ dan Qadar.[12]
Tak hanya menyasar organisasi, tokoh-tokoh intelektual muslim juga tak lepas dari tuduhan sebagai antek-antek Neo-Mu’tazilah. Salah satu contoh cendikiawan muslim yang dianggap berpaham Neo-Mu’tazilah adalah “Harun Nasution yang dinilai sebagai ilmuwan yang menekankan pentingnya rasionalitas dalam beragama.”[13]
Penilaian terhadap Harun Nasution didasari dari beberapa tulisan-tulisan beliau yang dianggap berusaha menyebarkan idiologi rasionalitas. Salah satu contohnya adalah :
Sikap rasional dalam arti menempatkan rasio atau akal yang tinggi dalam kehidupan beragama yang diperjuangkan kaum Mu’tazilah setidak-tidaknya mempunyai 2 arti penting yaitu :
1.      Manusia mempunyai kemampuan yang besar dengan akal yang dimilikinya.
2.      Segala perbuatan manusia secara eskatologis tak ada yang sia-sia pada masa apapun.[14]
Meskipun terindikasi sebagai Neo-Mu’tazilah, “Harun Nasution juga dalam beberapa tulisannya dengan tegas menyayangkan sisi lain Mu’tazilah yang mengesahkan penggunaan cara-cara kekerasan untuk memerangi kelompok teologi yang bertentangan dengannya.”[15]
Terlepas dari berbagai tudingan terhadap organisasi-organisasi dan cendikiawan-cendekiawan Islam yang dinilai mengikuti paham Mu’tazilah atau Neo-Mu’tazilah, seyogyanya kita jangan mudah menfonis mereka tanpa ada pembuktian yang valid.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian singkat yang telah dibahas dalam makalah ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Gerakan Al-Mihnah merupakan gerakan pengujian pendapat tentang persoalan keqadiman sesuatu selain Allah yang digagas oleh para penganut paham Mu’tazilah. Gerakan ini berkembang pesat pada masa pemerintahan Ma’mun bin Harun Al-Rasyid, Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid dan Watsiq bin Mu’tashim. Pengujian dilakukan terhadap para kadhi, ulama dan pegawai pemerintahan untuk menentukan pantas tidaknya mereka mendapatkan insentif dari negara, namun pada perkembangannya kemudian ditetapkanlah berbagai hukuman bagi orang-orang yang tidak sepaham dengan pemahaman yang diujikan dalam gerakan Al-Mihnah ini. Gerakan ini berakhir pada akhir periode pemerintahan Watsiq bin Mu’tashim dan betul-betul dihentikan pada periode Mutawakil bin Mu’tashim.
2.      Setelah mengalami fase kemunduran pasca gerakan Al-Mihnah, Mu’tazilah kembali meraih kejayaannya pada periode pemerintahan Dinasti Buwaihi dan masa kepemimpinan Tughril yang memimpin Dinasti Saljuk. Periode kejatuhan Mu’tazilah terjadi seiring runtuhnya Dinasti Bani Abbasiyah karena serangan bangsa Mongol. Meskipun saat ini wujud Mu’tazilah telah menghilang, namun paham-paham rasionalis mereka tetap berkembang hingga kini kemudian melahirkan Neo-Mu’tazilah.
B.     Saran
Di era kemajuan teknologi saat ini yang berjalan seiring dengan perkembangan pemikiran Islam yang semakin pesat, marilah kita meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT. Merebaknya berbagai pola-pola pemikiran Islam modern harus kita waspadai agar kita tidak terjerumus ke jalan yang melenceng dari apa yang telah diajarkan oleh Al-Qur’an dan Hadist serta ijtihad para ulama.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Manhaj. Hizbut Tahrir Neo-Mu’tazilah. http://almanhaj.or.id/content/174/ slash/0/hizbut-tahrir-neo-mutazilah/. Diakses pada tanggal 01 Januari 2016 (Internet).

Azizy, Ahmad Qodri Abdillah, dkk. 2005. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia. Ternate: STAIN Ternate & Pustaka Pelajar.

Firdaus. 2007. Al-Syatibi. Jakarta: Erlangga.

Hisbut Tahrir Indonesia. Hizbut Tahrir Muktazilah?. http://hizbut-tahrir.or.id/2007/12/27/hizbut-tahrir-muktazilah/. Diakses pada tanggal 01 Januari 2016 (Internet)

Lang, Jeffrey. 2006. Aku Menggugat Maka Aku Kian Beriman. Jakarta: Serambi.

Makdisi, George Abraham. 2005. Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Reinaisans Barat. Jakarta: Serambi.

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: UI Press.

______________. 1996. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.

______________. 2010/ Teologi Islam: Aliran-aliran Sejara Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.

Nata, Abuddin. 2001. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. Depok: Devisi Buku Perguruan Tinggi Rajagrafindo Persada.

Rozaq, Abdul dan Anwar, Rosihon. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.


[1] Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Depok: Devisi Buku Perguruan Tinggi Rajagrafindo Persada, 2001), h. 229
[2] George Abraham Makdisi, Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Reinaisans Barat (Jakarta: Serambi, 2005), h. 30
[3] Jeffrey Lang, Aku Menggugat Maka Aku Kian Beriman (Jakarta: Serambi, 2006), h. 94
[4] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h. 52
[5] Firdaus, Al-Syatibi (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 35
[6] George Abraham Makdisi, ibid.
[7] ibid.
[8] ibid.
[9] Abdul Rozaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 28
[10] Harun Nasution, op. cit, h. 12
[11] Al-Manhaj, Hizbut Tahrir Neo-Mu’tazilah, http://almanhaj.or.id/content/174/slash/0/hizbut-tahrir-neo-mutazilah/, diakses pada tanggal 01 Januari 2016 (Internet)
[12] Hisbut Tahrir Indonesia, Hizbut Tahrir Muktazilah?, http://hizbut-tahrir.or.id/2007/12/27/hizbut-tahrir-muktazilah/, diakses pada tanggal 01 Januari 2016 (Internet)
[13] Ahmad Qodri Abdillah Azizy, dkk, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia (Ternate: STAIN Ternate & Pustaka Pelajar, 2005), h. 205
[14] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1996), h. 83
[15] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejara Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2010), h. 58
Baca artikel menarik lainnya :
Judul : Makalah - Al-Mihnah & Kemunculan Gerakan Neo Mu'tazilah; Ditulis oleh Syarif; Rating: 5 dari 5
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Jika mengutip harap berikan link yang menuju ke artikel Makalah - Al-Mihnah & Kemunculan Gerakan Neo Mu'tazilah ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatiannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Belajar Blog dan SEO di trikmudahseo.blogspot.com - Support www.evafashionstore.com