sosok
inspiratif ini lahir di Tanjungkerta, Sumedang – Jawa Barat pada tanggal 1 Juni
1951, beliau dilahirkan dan dibesarkan di tengah keluarga petani yang
sederhana.
Ketunanetraan
yang beliau alami terjadi pada saat usia
beliau menginjak 5 tahun, beliau terkena sebuah penyakit mata yang membuat beliau harus menerima kenyataan pahit kehilangan
penglihatannya.
Menjadi
penyandang tunanetra di usia sedini itu tidak membuat Didi kecil patah semangat, hal tersebut berkat kasih
sayang dari kedua orang tuanya dan suntikan motifasi dari keempat saudaranya.
Didi
sangat bersyukur kepada tuhan memiliki orang tua yang luar biasa baik dan
sangat memahami keadaanya, “orang tua saya tidak berpendidikan tinggi, tapi
mereka mampu menerima segala yang telah
diberikan tuhan dan menganggapnya sebagai karunia sehingga tidak satupun
penyesalan dalam hati mereka.” Ujar beliau.
Pada
usia 9 tahun Didi dikirimm oleh orang
tuanya untuk belajar di SLB/A Wiyata guna di Bandung. Di sekolah yang
bersejarah itulah Didi mendapat pencerahan
dan membuat Didi menjadi sosok yang tegar dan penuh semangat.
Setelah
menamatkan pendidikan menengahnya pada tahun 1969, Didi melanjutkan
pendidikannya ke jenjang pendidikan menengah atas di Sekolah Pendidikan Guru
(SPG) Negeri 2 Bandung dan menjadi satu-satunya penyandang tunanetra yang
bersekolah di tempat tersebut pada waktu itu.
Tidak
hanya sampai disitu, selepas dari SPGN 2 Bandung Didi melanjutkan studinya di
IKIP Bandung (UPI Bandung) jurusan
bahasa dan sastra ingris dimana pada waktu itu kesempatan penyandang divable
untuk mengakses pendidikan masih sangat terbatas. Didi Tarsidi berhasil meraih
gelar sarjana muda pada tahun 1976 dan sarjana pendidikan pada tahun 1979.
Selama
menempuh pendidikan di IKIP Bandung (UPI
Bandung) Didi mendapatkan beasiswa dan menjadi guru privat bahasa Ingris dan
Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pada tahun 1979 Didi
bekerja sebagai penerjemah di Helen Keller International, sebuah lembaga yang
berpusat di New York yang berfokus di bidang pengembangan pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus.
Selain
menjadi penerjemah di Helen Keller International, pada tahun 1979 Didi juga diangkat sebagai staf pendidik di
sekolah guru pendidikan luar biasa (SGPLB) Bandung dan mulai mengajar pada
tahun 1980. Ketika SGPLB Bandung diintegrasikan dengan jurusan pendidikan luar
biasa IKIP Bandung (UPI Bandung) pada tahun 1994, Didi diangkat menjadi dosen
dan sampai sekarang Didi berstatus sebagai dosen tetap jurusan PLB dan menduduki jabatan sebagai
lektor kepala.
Dalam
kurun waktu 1999 – 2004 Didi terlibat dalam proyek peningkatan mutu pendidikan
anak berkebutuhan khusus yang mendapat bantuan dari pemerintah Norwegia dan
bantuan teknis dari Universitas Oslo. Pada tahun 2003 Didi juga termasuk dalam
tim yang dikirim UPI Bandung ke Norwegia untuk melakukan studi banding mengenai
implementasi pendidikan inklusif di Norwegia yang bermuara pada pembukaan program
pasca sarjana jurusan pendidikan luar biasa (PLB) di UPI Bandung.
Didi
memulai pendidikannya di program pasca
sarjana pada tahun 2000 dan selesai pada tahun 2002 dalam bidang studi
bimbingan dan konseling di UPI Bandung yang kemudian melanjutkan program
Doctoralnya pada tahun 2005 di universitas yang sama dan berhasil meraih gelar Doctor pada tahun
2008.
Tidak
hanya dalam dunia pendidikan, Didi juga
aktif dalam organisasi para
penyandang divable khususnya tunanetra
misalnya menjabat ketua umum DPP PERTUNI (Persatuan Tuna Netra Indonesia)
selama periode 2004 – 2009 dan periode 2009 -2014, Vice president World Blind
Union Asia – Pacific periode 2004-2008, dan kordinator pelayanan mitra netra
Bandung.
Itulah
sosok DR. Didi Tarsidi yang dalam perjalanan hidupnya selalu berusaha menerima
diri apa adanya sesuai yang telah
dianugerahkan Tuhan. “Tapi tidak sekadar menerima, jika hanya menerima bukanlah
suatu hal yang dapat dikatakan berhasil, kita harus bertekad mengembangkan apa
yang dimiliki agar dapat optimal sehingga dapat bermanfaat.” Tegas beliau.
Bagi beliau ketunanetraan bukanlah sebuah
kekurangan, melainkan sebuah karakteristik pribadi, sama halnya dengan karakteristik pribadi yang dimiliki orang lain seperti pendek, tinggi, kurus, gemuk dan lain-lain.
Jika mengutip harap berikan link yang menuju ke artikel DR. Didi Tarsidi pejuang hak bagi para penyandang divable ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatiannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar