BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Tasawwuf dalam Islam telah
melahirkan beberapa tokoh-tokoh besar dengan ajarannya masing-masing. Ilmu yang
dianggap menyimpang oleh sebagian kalangan ini tetap memiliki posisi tersendiri
bagi beberapa kelompok ummat Islam.
Kontrofersi mengenai ilmu
tasawwuf semakin menjadi perdebatan seiring dengan lahirnya tokoh-tokof sufi
yang membawa ajaran-ajaran yang dianggap oleh sebagian kalangan justru
bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Al-Hallaj adalah salah satu
tokoh sufi yang dituding membawa ajaran yang aneh bahkan dianggap menyimpang
oleh pihak-pihak yang tak sepaham dengannya. Bahkan akhir hayat Al-Hallaj
berujung pada hukuman mati yang begitu tragis.
selain terkenal sebagai
seorang sufi yang akhir hidupnya berakhir dengan tragis, Al-Hallaj juga populer
dengan ajarannya tentang ketuhanan. Salah satu ajarannya adalah tentang
Al-Hulul.
Dari uraian singkat diatas,
maka penulis tertarik membuat sebuah karya tulis ilmiah yang membahas mengenai
Al-Hallaj dan tentang ajaran Al-Hulul yang ia cetuskan.
B. Rumusan
Masalah
Berdasar pada paparan singkat
pada poin latar belakang masalah, maka yang menjadi fokus utama pembahasan
makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
biografi singkat Al-Hallaj?
2.
Bagaimana
ajaran Al-Hulul yang dicetuskan oleh Al-Hallaj?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut :
1.
Biografi
singkat Al-Hallaj.
2.
Ajaran
Al-Hulul yang dicetuskan oleh Al-Hallaj.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Singkat Al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hallaj adalah
“Abu al-Mughits al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi, lahir di Baida,
sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/858 M.”[1]
“Ketika usianya menginjak 16
tahun (260 H/873 M), dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang besar dan
terkenal, yaitu Sahl bin Abdullah al-Tusturi di negeri Ahwaaz.”[2]
“Selama 2 tahun lamanya dia belajar
kepada sufi besar itu. Sehabis belajar dengan Tusturi, dia berangkat ke Basrah
dan belajar kepada Sufi ‘Amar al-Makki, di tahun 264 H (878 M) dia masuk ke
Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu dia pun pergi mengembara dari
satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengamalan dalam ilmu
tasawuf. Sehingga tidak ada lagi seorang syeikh ternama, semua telah
dijelangnya dan dimintanya fatwa dan tuntutannya. Dan tiga kali dia naik Haji
ke Mekkah.”[3]
Saat pergi ke Mekkah untuk
pertama kalinya dalam rangka menunaikan ibadah haji, dan kembali ke Baghdad,
mulailah ia memperoleh murid atau pengikut yang semakin lama semakin banyak. Ia
juga melakukan perlawatan ke berbagai negeri, seperti Ahwaz, Khurasan,
Turkistan, dan bahkan juga ke India.
Dimanapun ia berada, ia
melaksanakan dakwah, mengajak umat agar mendekatkan diri kepada Allah. Dengan
demikian pengikut-pengikutnya yang dikenal dengan sebutan Hallajiyah, makin
bertambah besar. Para pengikutnya itu yakin bahwa ia adalah seorang wali, yang
memiliki berbagai kekeramatan.
Dia kembali ke Baghdad pada
tahun 296 H / 909 M. Di kota ini ia bersahabat dengan kepala rumah tangga
istana yaitu Nashr al-Qusyairi. Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan
perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap
penyelewengan yang terjadi.
Mungkin karena kekhawatiran
pada kebesaran pengaruhnya dan kecenderungan pada aliran syi'ah , penguasa di
Baghdad menangkap dan memenjarakannya pada 910 (297 H). Dengan sejumlah tuduhan
(bahwa ia berkomplot dengan kaum Qaramith, yang mengancam kekuasaan Daulat Bani
Abbas.
“Oleh sebagian pengikutnya
yang fanatik dia dianggap bersifat ketuhanan. Salah satu ucapannya yang dinilai
kontrofersil adalah ana al-haq (Maka
akulah yang benar), dia juga mengeluarkan
fatwa yang menyatakan bahwa ibadah haji tidak wajib.”[4]
Akibat fatwa tersebut
Al-Hallaj kemudian mendapatkan hukuman penjara, akan tetapi setelah satu tahun
di penjara dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang
menaruh simpati kepadanya.
Dari Baghdad kemudian ia
melarikan diri ke Sus salah satu daerah di Ahwas. Disinilah ia bersembunyi
empat tahun lamanya. Namun pada tahun 301 H / 930 M dapat ditangkap kembali dan
dimasukkan lagi ke penjara sampai delapan tahun lamanya.
“Akhirnya pada tahun 309 H /
921 M, diadakan persidangan ulama dibawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah
al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman padanya.
Dia dihukum bunuh dengan mula-mula di pukul dan di cambuk, lalu di salib,
sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, di penggal lehernya dan
ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu gerbang kota
Baghdad, kemudian dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.”[5]
“Al-Hallaj menghadapi hukuman
tersebut dengan penuh keberanian dan
berkata pada saat di salib : "Ya Allah, mereka adalah hamba-hambaMu, yang
telah terhimpun untuk membunuhku, karena fanatik pada agama-Mu dan hendak
mendekatkan diri kepada-Mu. Ampunilah mereka, sekiranya Engkau singkapkan
kepada mereka apa yang telah Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak
akan memperlakukan seperti ini.”[6]
B. Ajaran
Al-Hallaj Tentang Al-Hulul
Secara etimologi, kata
Al-Hulul berasal dari kata “Halla yahlul-hululan” yang berarti menempati.”[7]
Jadi hulul secara bahasa berarti “Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia
tertentu, yang telah lenyap sifat kemanusiaannya.
Adapun menurut istilah, Al-Hulul
berarti “paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil
tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh manusia
itu dilenyapkan.”[8]
Pemikiran Al-Hallaj tentang
kebersatuan manusia dengan Tuhan yang kemudian mengkristal dalam terma Al Hulul
merupakan salah satu bentuk Ittihad. Ittihad yang dimaksud di sini adalah suatu
tingkatan dalam tasawuf, ketika seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan
Tuhan, suatu tingkatan saat yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu.
Pemikiran Al Hulul dari Al
Hallaj bermula dari pendapatnya yang mengatakan bahwa dalam diri manusia
sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Untuk dasar pemikiran itu, ia
menta’wilkan ayat Al Qur’an yang menyerukan agar malaikat bersujud untuk Adam.
Karena yang berhak untuk diberi sujud hanyalah Allah, maka Al Hallaj memahami
bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan.
Ia berpendapat demikian
karena sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri.
Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya
sendiri, yaitu dialog yang di dalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang
dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada
zat-Nya dan Ia pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan,
dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini.
Ia pun mengeluarkan dari yang
tiada bentuk copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy
ini adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara itu, Ia memuliakan dan
mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam
bentuknya. Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan
Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.
Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam
dirinya. Hal ini dipahami dari Firman Allah yang berbunyi :
øÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§Î=ö/Î) 4n1r& uy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB úïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ
Terjemahnya
|
:
|
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada
Para Malaikat: "Sujudlah[36] kamu kepada Adam," Maka sujudlah
mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan
orang-orang yang kafir.
|
Dengan membersihkan diri
melalui ibadah dan berhasil usahanya dalam melenyapkan sifat tersebut, maka
yang tinggal dalam dirinya hanya sifat al lahut. Pada saat itulah sifat al
nasut Tuhan turun dan masuk ke dalam tubuh seorang sufi, sehingga terjadilah hulul.
[5] dan peristiwa ini terjadi hanya sesaat.
Pernyataan al Hallaj bahwa
dirinya tetap ada, yang terjadi adalah bersatunya sifat Tuhan di dalam dirinya,
sebagaimana ungkapan syairnya, “Maha Suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya
membukakan rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi
makhluknya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum.”[9]
Berdasarkan uraian di atas,
maka Al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap di mana manusia dan Tuhan
bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini, AlHulul pada hakikatnya istilah lain
dari al Ittihad. Tujuan dari Al-Hulul adalah mencapai persatuan secara batin.
Hamka mengatakan bahwa “Al-Hulul
adalah ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut), dan hal ini
terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan
hidup kebatinan.”[10]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan paparan singkat
makalah ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Al-Hallaj
adalah salah satu tokoh sufi yang berasal dari Bagdad yang dilahirkan di Baida,
sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/858 M. Dia menjadi tokoh
pelopor lahirnya ajaran pemikiran Al-Hulul dan beberapa ajaran-ajaran
kontrofersi lainnya. Pandangan-pandangan beliau yang dinilai menyimpang oleh
beberapa kalangan mengakibatkan beliau mendapatkan hukuman penjara hingga
hukuman mati yang begitu luar biasa kesadisannya.
2.
Al-Hulul
merupakan tahap di mana manusia dan
Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini, AlHulul pada hakikatnya istilah
lain dari al Ittihad. Tujuan dari Al-Hulul adalah mencapai persatuan secara
batin.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan. 2000. Ilmu Tasawwuf. Bandung: Pustaka Setia.
Asmara, A. S. 2002. Pengantar Ilmu Tasawwuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hamka. 1994. Tasawwuf: Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Mustofa, Kamil. 1997. Tasawwuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
[1] Rosihan Anwar, Ilmu Tasawwuf (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 135
[2] Hamka, Tasawwuf:
Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h, 108
[3] ibid.
[4] Rosihan Anwar, op. cit, h. 136
[5] A. S. Asmara, Pengantar Ilmu Tasawwuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.
312
[6] ibid,
h. 314
[7] M. Amin Syukur, Menggugat Tasawwuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 333
[8] ibid.
[9] Kamil Mustofa, Tasawwuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1997), h. 126
[10] Hamka, op.
cit, h. 120
Jika mengutip harap berikan link yang menuju ke artikel Makalah - Al-Hallaj Al-Hulul ini. Sesama blogger mari saling menghargai. Terima kasih atas perhatiannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar